Blunder Sri Mulyani Samakan Pajak dengan Zakat, Islam Menegaskan Perbedaan Kewajiban dan Prinsip Kejujuran dalam Pemerintahan

muslimX
By muslimX
3 Min Read

muslimx.id – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf dalam forum Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI). Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, menyebut pernyataan tersebut sebagai blunder besar yang berpotensi menyesatkan masyarakat.

Sri Mulyani dalam forum tersebut mengungkapkan bahwa pajak memiliki fungsi sosial yang sama dengan zakat dan wakaf, yakni menyalurkan sebagian harta untuk kepentingan umum. Ia juga mengaitkan prinsip empat sifat Nabi Muhammad SAW, yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas), sebagai dasar moral dalam tata kelola APBN. Sri Mulyani bahkan memperingatkan bahwa tanpa transparansi, “banyak setan di APBN.”

Namun, Rinto Setiyawan menilai bahwa menyamakan pajak dengan zakat adalah kesalahan fatal. “Zakat adalah kewajiban syar‘i yang jelas, sederhana, dan berpihak langsung pada mustahik (penerima zakat). Pajak di Indonesia justru penuh dengan ribuan regulasi, rumit, dan seringkali dipakai oleh oknum untuk kepentingan pribadi,” jelas Rinto.

Dalam pandangan Islam, zakat dan pajak memiliki perbedaan mendasar. Zakat adalah kewajiban agama yang dilakukan dengan niat ikhlas dan memiliki tujuan langsung untuk membantu mereka yang membutuhkan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf, untuk membebaskan hamba sahaya, untuk orang yang berhutang, untuk perjuangan di jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At-Tawbah: 60)

Pentingnya Memahami Hakikat Pajak

Sebaliknya, pajak adalah kewajiban sipil yang ditujukan untuk membiayai pengeluaran negara, termasuk pembangunan infrastruktur, pembayaran gaji pejabat, dan layanan publik. Pajak, meskipun memiliki tujuan sosial, tidak seharusnya disamakan dengan zakat yang berbasis kewajiban agama.

Dalam Hadits, Nabi Muhammad SAW mengajarkan tentang pentingnya amanah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban terhadap orang lain:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)

Rinto menegaskan bahwa sistem pajak harus dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Menurutnya, retorika agama dalam konteks pajak yang dikeluarkan Sri Mulyani hanya akan mengaburkan hakikatnya dan tidak mengatasi masalah mendasar dalam sistem perpajakan yang kompleks dan sering merugikan masyarakat. “Pajak adalah kewajiban sipil yang harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan, bukan dengan simbolisme agama yang hanya menambah kebingungannya,” katanya.

Dengan dasar pemahaman ini, IWPI mendesak Sri Mulyani untuk segera mencabut pernyataannya dan memperbaiki kebijakan perpajakan yang justru menyulitkan rakyat, tanpa harus menggunakan retorika moral yang keliru. Sebagai pelayan publik, pejabat negara harus menjaga amanahnya dengan penuh tanggung jawab dan memperbaiki sistem yang ada, bukan memperburuknya dengan justifikasi yang menyesatkan.

Pemerintah harus kembali pada prinsip Islam yang menuntut setiap pemimpin untuk menjalankan tugasnya dengan amanah, kejujuran, dan keadilan yang sesuai dengan tuntutan hukum dan moral masyarakat.

Share This Article