muslimx.id – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf dalam forum Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah menuai kritik keras dari berbagai pihak. Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyebut pernyataan tersebut sebagai blunder besar yang menyesatkan publik. Ia menilai Sri Mulyani telah menyalahgunakan istilah agama untuk menutupi kelemahan sistem perpajakan Indonesia.
Menurut Rinto, zakat adalah kewajiban syar‘i yang jelas, sederhana, transparan, dan langsung menyasar mustahik. Sementara pajak di Indonesia justru penuh dengan ribuan regulasi yang tumpang tindih, rawan diselewengkan oknum, dan sering kali lebih berpihak pada kepentingan fiskal negara ketimbang kesejahteraan rakyat. “Tabligh tanpa amanah hanyalah propaganda. Fathonah tanpa siddiq hanyalah kecerdikan untuk mengelabui rakyat,” tegasnya.
Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun juga memberi peringatan. Ia menilai Indonesia kini berada di tepi krisis utang. Bahkan, ia memprediksi Menkeu bisa saja mundur karena negara sudah tidak mampu lagi membayar cicilan. “Mau utang lagi sudah tak bisa. Pemberi utang pun sudah bangkrut,” ungkapnya. Ia mengingatkan rakyat agar bersiap menghadapi krisis pangan dan kembali pada swasembada.
Pandangan Islam: Zakat Tidak Bisa Disamakan dengan Pajak
Dalam Islam, zakat adalah ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial. Allah berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103).
Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar pungutan, melainkan perintah Allah untuk menyucikan harta dan jiwa, serta disalurkan langsung kepada golongan yang berhak. Menyamakan zakat dengan pajak yang penuh keruwetan jelas mencampuradukkan konsep syariah dengan sistem fiskal buatan manusia.
Rasulullah SAW juga memperingatkan keras pemimpin yang menipu atau membebani rakyatnya. Beliau bersabda:
“Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mengingatkan bahwa pemimpin wajib amanah, bukan justru menggunakan retorika agama untuk melegitimasi kebijakan yang memberatkan rakyat.
Mundur sebagai Jalan Terhormat
Dengan kondisi utang negara yang kian membengkak, regulasi pajak yang ruwet, serta hilangnya kepercayaan publik, kritik Rinto dan peringatan Cak Nun semakin menegaskan bahwa fungsi seorang Menkeu sudah kehilangan arah. Dalam perspektif Islam, pemimpin yang tidak mampu menjalankan amanah sebaiknya mengundurkan diri agar kehormatan jabatan tetap terjaga.
Mundur bukanlah aib, melainkan bentuk tanggung jawab moral. Sebab dalam Islam, jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.