muslimx.id — Fenomena dana pemerintah daerah (Pemda) yang “parkir” di bank kembali menjadi sorotan publik. Hingga Agustus 2025, jumlah dana yang mengendap mencapai Rp233,11 triliun. Alih-alih digunakan untuk membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dana tersebut justru menganggur di rekening perbankan, khususnya Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena pencairan anggaran yang baru bisa dilakukan pada kuartal IV setiap tahun. Alhasil, dana yang seharusnya menggerakkan roda ekonomi rakyat hanya menjadi angka di atas kertas.
Partai X: Kepala Daerah Jangan Hanya Dengar Suara Kantor
Anggota Majelis Tinggi Partai X dan Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa fenomena parkir dana ini menunjukkan lemahnya kepekaan kepala daerah terhadap kondisi rakyat.
“Kepala daerah harus lebih peka terhadap situasi ekonomi dan kebutuhan masyarakat di daerah mereka, jangan hanya mendengar suara kantor pusat. Keuangan daerah itu milik rakyat, bukan hanya untuk ditunggu-tunggu, tapi harus dimanfaatkan untuk kemajuan daerah,” ujar Prayogi.
Menurutnya, parkir dana ini mencerminkan lemahnya manajerial dan ketidakmampuan dalam merencanakan serta mengeksekusi anggaran dengan efektif. Padahal, hartapublik adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan.
Pengelolaan Dana dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, pengelolaan harta publik merupakan tanggung jawab besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menjadi dasar prinsip amanah (trust) dan keadilan dalam mengelola segala bentuk tanggung jawab, termasuk keuangan negara dan daerah. Dana publik bukan milik pribadi pejabat, melainkan titipan rakyat yang wajib digunakan untuk kemaslahatan umum.
Kurangnya transparansi dan pengawasan juga membuka celah bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, yang dalam Islam termasuk ghulul (penggelapan amanah), perbuatan yang sangat dilarang:
“Barangsiapa yang berkhianat terhadap amanah, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatinya itu…” (HR. Bukhari)
Kepala daerah, pejabat anggaran, dan birokrasi daerah pada hakikatnya sedang memegang amanah kepemimpinan. Menyimpan dana dalam jumlah besar tanpa realisasi nyata untuk kemaslahatan rakyat dapat termasuk menelantarkan amanah dan menunda hak rakyat.
Solusi: Tata Kelola Berbasis Amanah dan Ihsan
Partai X mendorong agar pemerintah daerah memperbaiki tata kelola keuangan dengan langkah konkret:
- Perencanaan anggaran tepat waktu, agar penyaluran tidak menumpuk di akhir tahun.
- Penguatan kapasitas pengelolaan keuangan, terutama di daerah yang SDM-nya terbatas.
- Prioritas pembangunan berdampak langsung pada masyarakat miskin dan sektor strategis.
- Kolaborasi dengan sektor swasta secara transparan dan akuntabel.
- Menanamkan nilai amanah dan takut akan hisab dalam setiap pengambilan kebijakan anggaran.
Penutup: Amanah Bukan Sekadar Angka
Islam mengajarkan bahwa harta publik adalah hak umat. Pejabat hanyalah pengelola, bukan pemilik. Jika Rp233 triliun hanya mengendap tanpa manfaat, itu bukan sekadar kelalaian birokrasi tapi kelalaian amanah yang berat pertanggungjawabannya.
“Dan janganlah kamu memakan harta (orang lain) di antara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188)
Kepala daerah dan pejabat publik perlu menyadari bahwa pengelolaan dana bukan hanya soal administrasi, tapi soal hisab (perhitungan amal). Dana itu harus kembali dalam bentuk pelayanan, pembangunan, dan kesejahteraan nyata bagi rakyat bukan hanya saldo yang mengendap di bank.