muslimx.id — Pernyataan Anies Baswedan yang menyinggung praktik bagi-bagi jabatan di pemerintahan menuai sorotan publik. Dalam pandangannya, jabatan seharusnya menjadi sarana pelayanan rakyat, bukan alat pembagian kekuasaan. Kritik ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap pejabat yang lebih sibuk menata posisi daripada menata keadilan sosial.
Namun dalam pandangan Islam, kekuasaan bukanlah harta yang bisa dibagi-bagi, melainkan amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Kekuasaan adalah Amanah yang Akan Dimintai Pertanggungjawaban
Islam memandang jabatan dan kekuasaan sebagai amanah (titipan), bukan hak milik. Siapa pun yang diberi kedudukan, wajib menunaikannya dengan keadilan, tanggung jawab, dan ketulusan.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menjadi dasar bahwa setiap jabatan publik adalah amanah dari rakyat yang harus dijalankan dengan prinsip keadilan, bukan kepentingan. Menjadikan jabatan sebagai barang transaksi kekuasaan sama saja dengan mengkhianati perintah Allah.
Keadilan dan Tanggung Jawab Pemimpin dalam Islam
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya. Kekuasaan bukan kehormatan, melainkan ujian yang sangat berat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa setiap pejabat negara dari presiden hingga kepala desa akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas setiap kebijakan dan ketidakadilan yang ia lakukan.
Maka dari itu, dalam Islam, jabatan bukanlah hak yang dituntut, tetapi amanah yang dijaga. Barang siapa yang meminta jabatan untuk keuntungan dirinya, maka ia telah menodai makna kekuasaan itu sendiri.
Bagi-bagi Jabatan, Bentuk Pengkhianatan terhadap Amanah Rakyat
Islam menolak keras praktik pembagian jabatan demi kepentingan individu atau balas budi. Dalam sejarah Islam, para khalifah yang adil selalu memilih pejabat berdasarkan ilmu, amanah, dan kemampuan, bukan kedekatan.
Praktik bagi-bagi kekuasaan hanya akan menumbuhkan budaya nepotisme dan korupsi struktural, di mana pejabat melayani atasan, bukan rakyat.
Allah SWT memperingatkan:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini memperingatkan agar kekuasaan dan jabatan tidak menjadi jalan untuk mengambil keuntungan pribadi.
Pemimpin dalam Islam tidak dilihat dari banyaknya jabatan yang ia kendalikan, melainkan dari seberapa besar ia melayani rakyatnya.