muslimx.id — Langkah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Pol Agus Suryonugroho, menertibkan penggunaan sirine dan strobo mendapat sambutan luas dari publik. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya koreksi internal demi mengembalikan fungsi isyarat prioritas sesuai hukum dan etika berlalu lintas.
Tujuannya sederhana menciptakan jalan raya yang tertib, aman, dan manusiawi, di mana setiap pengguna jalan baik pejabat maupun rakyat biasa memiliki hak yang sama untuk dihormati.
Namun, langkah tersebut juga membuka refleksi mendalam: selama ini, simbol kekuasaan seringkali justru menjadi alat untuk menggeser keadilan, bahkan di ruang sekecil jalan umum.
Partai X: Kekuasaan Tak Boleh Melukai Rasa Keadilan
Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai bahwa jalan raya adalah cermin kecil dari keadilan sosial.
“Kalau hukum di jalan saja tidak adil, bagaimana rakyat bisa percaya pada hukum di pengadilan?” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa sirene dan strobo bukan simbol keistimewaan, melainkan tanda tanggung jawab.
“Tugas negara itu tiga: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat. Kalau kendaraan pejabat bisa seenaknya menyingkirkan warga, berarti yang dilindungi bukan rakyat, tapi ego kekuasaan.”
Kritik ini menggugah kesadaran publik bahwa ketertiban lalu lintas bukan hanya urusan teknis, tapi moralitas pemerintahan. Keadilan sosial bukan sekadar janji dalam pidato, melainkan terlihat nyata ketika hukum berlaku sama di jalan raya.
Pandangan Islam: Amanah dan Keadilan Tak Boleh Dilanggar di Jalan
Islam menempatkan keadilan (‘adl) dan amanah sebagai fondasi setiap tindakan, termasuk dalam hal yang tampak sepele seperti penggunaan isyarat lalu lintas. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menjadi peringatan bahwa setiap bentuk kekuasaan termasuk hak prioritas di jalan adalah amanah yang wajib dijalankan dengan adil.
Tidak boleh ada penyalahgunaan simbol kekuasaan yang menimbulkan ketakutan atau kesewenang-wenangan.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa setiap pejabat atau aparat yang memegang simbol kekuasaan wajib menggunakannya untuk melindungi rakyat, bukan mengistimewakan diri. Sirine bukan untuk menakuti, strobo bukan untuk menyingkirkan, melainkan untuk menjaga keselamatan dan ketertiban bersama.
Solusi: Keadilan di Jalan, Keteladanan di Pemerintahan
Dalam perspektif Islam, keadilan harus hadir mulai dari hal-hal paling kecil dan kasat mata. Karena itu, penertiban penggunaan sirine dan strobo perlu diikuti dengan reformasi moral dan sistemik.
- Penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Semua kendaraan, baik milik pejabat, aparat, maupun masyarakat, wajib tunduk pada aturan lalu lintas yang sama. - Digitalisasi dan transparansi izin penggunaan strobo.
Agar masyarakat tahu siapa yang berhak menggunakannya dan untuk keperluan apa. - Pendidikan etika publik bagi pejabat dan aparat.
Mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan privilese. - Keteladanan moral dari atas.
Karena masyarakat hanya akan tertib bila melihat pemimpinnya memberi contoh keadilan di ruang publik.
Penutup: Jalan Raya Adalah Panggung Keadilan
Negara yang adil dimulai dari jalan yang tertib. Sirene boleh meraung, tapi nurani pejabat jangan tuli terhadap rasa keadilan rakyat. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa: 135)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan tidak mengenal status sosial atau jabatan.
Di jalan raya, setiap manusia sejajar di hadapan hukum karena aspal tidak mengenal pangkat, dan sirene tidak bisa menghapus tanggung jawab moral.