muslimx.id — Dunia hukum Indonesia tengah bergerak ke arah digital. Melalui sistem peradilan elektronik (e-court), negara berupaya memangkas jarak, waktu, dan biaya dalam proses peradilan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Assoc. Prof. Dr. Sulistyowati, SH, MH dari Fakultas Hukum Universitas Nasional, transformasi ini bukan tanpa resiko.
“Peradilan elektronik ibarat pisau bermata dua efisien di satu sisi, tapi bisa menggerus keadilan substantif di sisi lain,” ujarnya dalam kuliah umum daring bertajuk Praktik Peradilan Pidana di Indonesia (16/10).
Menurutnya, sistem e-court memang memberi transparansi dan kemudahan, tetapi di sisi lain menimbulkan kesenjangan akses bagi rakyat kecil, risiko keamanan data, dan kendala dalam menilai ekspresi saksi secara langsung.
Islam Ingatkan: Keadilan Tak Bisa Didigitalkan
Dalam pandangan Islam, keadilan bukan sekadar hasil dari sistem atau perangkat, melainkan pancaran dari nurani manusia yang beriman.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah perintah moral yang hidup dalam hati manusia bukan hanya rumus dalam sistem elektronik.
Teknologi, betapapun canggihnya, tak bisa menggantikan kepekaan nurani seorang hakim atau aparat hukum terhadap penderitaan rakyat.
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan dalam hadis sahih:
“Hakim ada tiga golongan: dua di neraka dan satu di surga. Yang di surga adalah hakim yang tahu kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa keadilan bukan perkara prosedur, tapi soal tanggung jawab moral dan spiritual. Maka, jika sistem e-court hanya melahirkan kecepatan tanpa keadilan, itu berarti teknologi telah kehilangan rohnya.
Partai X: Ketika Digitalisasi Hukum Berisiko Mengabaikan yang Lemah
Menanggapi hal itu Ketua Umum Partai X Erick Karya menegaskan bahwa kemajuan teknologi hukum tidak boleh menjauh dari rasa keadilan rakyat.
Menurutnya, tugas negara bukan sekadar memodernisasi sistem, tetapi melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat dengan berpihak pada nilai kemanusiaan.
“Negara jangan sibuk membuat sistem canggih tapi melupakan hak rakyat kecil mencari keadilan. Mesin tak bisa menggantikan nurani,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa penerapan e-court harus memastikan rakyat tidak tersisih karena keterbatasan teknologi dan akses.
Digitalisasi hukum yang hanya menguntungkan kelompok mampu sementara rakyat kecil kesulitan mengaksesnya adalah bentuk ketimpangan modern yang bertentangan dengan nilai Islam.
Solusi: Teknologi Harus Menyatu dengan Nurani
Islam tidak menolak kemajuan, tetapi menuntut agar setiap inovasi tunduk pada nilai ‘adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang). Oleh karena itu, penerapan sistem e-court harus disertai dengan:
- Pelatihan hukum digital bagi masyarakat miskin dan daerah terpencil, agar keadilan tak hanya milik mereka yang berteknologi.
- Pengawasan independen terhadap sistem digital peradilan, agar tidak ada manipulasi algoritma dan penyalahgunaan data.
- Penerapan prinsip restorative justice berbasis nilai kemanusiaan, sehingga penyelesaian perkara tetap membawa kedamaian sosial, bukan sekadar vonis daring.
Penutup: Islam Menyeru, Keadilan Harus Tetap Manusiawi
Keadilan dalam Islam tidak boleh kehilangan wajah manusianya. Allah SWT berfirman:
“Dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Maka, sistem e-court hanya akan bernilai jika menjadi jalan menuju kemudahan, bukan penghalang baru. Teknologi boleh menggantikan ruang sidang fisik, tapi tidak boleh menggantikan nurani.
Sebab bagi Islam, keadilan adalah hak ilahi yang tak boleh ditunda, ditukar, atau didigitalkan sepenuhnya.