muslimx.id — Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian mengimbau seluruh pemerintah daerah untuk menyukseskan program tiga juta rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Program ini diklaim sebagai langkah konkret keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Dalam pelaksanaannya, Kemendagri juga menerbitkan Surat Keputusan Bersama untuk membebaskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, dari perspektif keadilan sosial Islam, kebijakan besar seperti program rumah rakyat tidak boleh berhenti pada tataran janji dan seremoni peresmian semata. Islam menegaskan bahwa menyediakan hunian layak bagi rakyat adalah amanah negara, bukan sekadar pencitraan pembangunan.
Islam: Rumah Layak Adalah Hak Rakyat dan Amanah Pemimpin
Direktur Pusat Kajian Sosial Islam, KH Ahmad Fadlan, menegaskan bahwa Islam menempatkan tempat tinggal sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh negara.
“Pemimpin itu amanahnya berat. Rumah layak bukan hadiah, tapi hak rakyat yang dijamin oleh tanggung jawab negara,” ujarnya.
Ia mengutip firman Allah SWT dalam Surah Al-Hashr ayat 7:
“…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Ayat ini, menurutnya, mengingatkan bahwa sumber daya dan hasil pembangunan tidak boleh hanya dinikmati oleh segelintir pihak atau korporasi besar. Pembangunan rumah rakyat harus merata, tidak terpusat di kota, dan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
Fadlan juga menambahkan sabda Rasulullah SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dasar moral bahwa pemimpin wajib memastikan setiap kebijakan, termasuk perumahan rakyat, dijalankan dengan jujur, transparan, dan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.
Hunian Layak Adalah Cermin Keadilan Sosial
Dalam pandangan Islam, keadilan tidak hanya berarti kesetaraan hukum, tetapi juga keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
“Ketika rakyat masih tinggal di rumah tak layak, sementara proyek properti mewah terus tumbuh, maka itu tanda ketimpangan yang harus diperbaiki,” ujar Fadlan.
Ia menilai, program tiga juta rumah harus diukur bukan dari jumlah proyek yang diresmikan, melainkan dari berapa banyak rakyat yang benar-benar memiliki tempat tinggal yang layak dan manusiawi.
“Negara wajib memastikan rakyat tidak hidup di bawah atap bocor dan tanah sempit, sementara pejabatnya hidup di istana. Itu bukan ajaran Islam,” tegasnya.
Solusi Islam: Pembangunan Berkeadilan dan Berkah
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial, Fadlan menyarankan agar kebijakan perumahan rakyat dijalankan dengan prinsip keadilan, amanah, dan keberkahan. Ia menawarkan tiga langkah:
- Distribusi lahan yang adil dengan mengutamakan rakyat, bukan pengembang besar.
- Sistem pembiayaan tanpa riba, seperti kepemilikan rumah berbasis koperasi umat agar rakyat miskin dapat mengakses hunian tanpa tekanan bunga bank.
- Integrasi pembangunan dengan pemberdayaan ekonomi lokal, sehingga setiap rumah yang dibangun juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar.
“Rumah rakyat bukan sekadar bangunan, tetapi pondasi kehormatan dan stabilitas keluarga. Negara yang adil adalah negara yang memastikan rakyatnya punya tempat berlindung dengan layak,” tutup Fadlan. Menurutnya, keberhasilan program rumah rakyat bukan diukur dari janji yang diucapkan, tetapi dari amanah yang ditepati dan kesejahteraan yang dirasakan.