Purbaya Ungkap Potensi Pajak, Islam Ingatkan Jangan Zalimi Rakyat dengan Kebijakan Berat!

muslimX
By muslimX
3 Min Read

muslimx.id — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memproyeksikan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp110 triliun pada tahun 2026 tanpa menerbitkan kebijakan baru. Pemerintah menilai target itu bisa dicapai dengan mendorong sektor swasta sebagai penggerak utama ekonomi nasional. Namun, dari sudut pandang keadilan Islam, kebijakan pajak tanpa perlindungan terhadap rakyat bisa menjelma menjadi bentuk kezaliman ekonomi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Islam: Keadilan Ekonomi Adalah Pondasi Negara

Ulama ekonomi Islam, KH Ahmad Fadlan, menegaskan bahwa pajak (dalam konteks modern) harus dilihat sebagai alat kemaslahatan, bukan instrumen yang menekan kehidupan rakyat.
“Negara boleh memungut pajak, tapi harus dengan keadilan dan tanpa menzalimi yang lemah. Sebab rakyat bukan sumber pendapatan, mereka adalah amanah,” ujarnya.

Ia mengutip firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 279:

“Dan jika kamu tidak berhenti (dari mengambil riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Tetapi jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi.”

Menurut Fadlan, ayat ini mengandung prinsip moral yang relevan dengan kebijakan ekonomi modern, tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Negara tidak boleh mengambil kebijakan fiskal yang memperkaya sebagian kecil pihak tetapi memperberat beban hidup mayoritas rakyat.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi peringatan keras bagi pemegang kebijakan publik. Dalam konteks perpajakan, pemimpin harus memastikan bahwa setiap kebijakan benar-benar membawa maslahat dan tidak menindas rakyat melalui harga-harga yang melonjak akibat tekanan fiskal.

Islam Tekankan Pajak yang Berkeadilan dan Transparan

Fadlan menilai, ketika pemerintah berbicara tentang peningkatan penerimaan pajak tanpa kebijakan baru, maka yang perlu diawasi adalah dampak riil terhadap rakyat.

“Jika aktivitas swasta meningkat dan pajak ikut naik, tapi rakyat tidak menikmati hasilnya, itu sama saja rakyat membayar dua kali: lewat harga barang dan lewat kesulitan hidup,” jelasnya.

Islam menekankan prinsip ‘adl (keadilan) dalam seluruh kebijakan ekonomi. Negara wajib memastikan bahwa pemungutan pajak disertai dengan transparansi, efisiensi belanja publik, dan keberpihakan nyata kepada golongan lemah.

Solusi Islam: Keadilan Fiskal untuk Kemaslahatan Bersama

Sebagai alternatif, Fadlan menawarkan langkah-langkah berbasis prinsip Islam agar kebijakan fiskal lebih berkeadilan:

  1. Menetapkan pajak progresif yang adil, di mana korporasi besar membayar lebih tinggi dibanding rakyat.
  2. Membangun sistem zakat dan pajak yang sinergis, sehingga penerimaan negara juga mengalir ke sektor sosial.
  3. Menegakkan akuntabilitas publik, memastikan setiap rupiah dari pajak kembali kepada kesejahteraan rakyat, bukan proyek kekuasaan.
  4. Menghapus kebijakan yang membebani rakyat miskin, seperti pungutan berganda atau biaya administrasi berlebihan.

“Pajak dalam Islam bukan alat eksploitasi, tapi wujud tanggung jawab sosial. Jika keadilan hilang, maka keberkahan juga akan pergi,” pungkas Fadlan.Ia menegaskan, keadilan fiskal adalah bagian dari keimanan sosial. Negara yang menzalimi rakyatnya lewat kebijakan berat telah melanggar prinsip dasar Islam: rahmatan lil ‘alamin menjadi rahmat bagi seluruh manusia.

Share This Article