muslimx.id – Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 tentang pemberian pinjaman uang oleh pemerintah pusat. Aturan ini diundangkan pada 10 September 2025 dan resmi berlaku secara nasional.
Tujuannya untuk mendukung program pembangunan pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD di sektor infrastruktur, energi, transportasi, hingga penyediaan air minum.
Sumber pendanaan berasal dari APBN. Pemerintah menilai kebijakan ini akan “mendorong pembangunan nasional melalui pendanaan yang relatif murah.” Namun, di tengah ekonomi rakyat yang masih berat, publik mempertanyakan: apakah solusi pembangunan harus selalu dibayar dengan hutang baru?
Dalam aturan itu, pemerintah pusat kini berperan sebagai pemberi pinjaman (kreditur). Daerah dan BUMD bisa meminjam dana, namun dengan berbagai syarat ketat seperti rasio keuangan minimal, bebas tunggakan, dan utang tak lebih dari 75% APBD. Kebijakan ini dinilai teknokratis, tapi menimbulkan tanya soal arah kedaulatan fiskal daerah dan peran negara dalam melindungi rakyatnya.
Partai X: Negara untuk Rakyat, Bukan untuk Utang
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai kebijakan pinjam uang ini berpotensi membalik peran konstitusional negara.
“Tugas negara itu tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketika rakyat pusing memenuhi kebutuhan harian, pusat justru sanggup memberi pinjaman ini ironis,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memperkuat kapasitas fiskal daerah, bukan menjadikan mereka peminjam. Negara sejatinya pelindung, bukan lembaga keuangan.
“Negara yang berdaulat tak boleh menjadikan rakyat atau daerah sebagai debitur,” ujar Prayogi. “Pemerintah hanyalah bagian kecil dari rakyat yang diberi mandat untuk melayani, bukan menguasai.”
Pandangan Islam: Hutang Adalah Amanah, Bukan Jalan Pembangunan
Dalam pandangan Islam, pinjam uang atau utang bukan sesuatu yang dilarang, tetapi beban moral dan sosial yang besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga utang itu dilunasi.” (HR. Tirmidzi)
Islam menempatkan pengelolaan harta negara sebagai amanah (trust), bukan alat transaksi antar lembaga. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (milik orang lain) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu…” (QS. An-Nisa: 5)
Ayat ini menjadi peringatan bahwa harta publik adalah sumber kehidupan rakyat, bukan alat permainan fiskal atau politik.
Negara yang berhutang demi proyek besar tapi membiarkan rakyat kecil menanggung inflasi dan beban harga, sejatinya telah meninggalkan prinsip keadilan sosial (al-‘adl al-ijtima‘i) yang menjadi ruh dari syariat Islam.
Islam menegaskan bahwa pemimpin yang amanah adalah mereka yang mengutamakan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan administrasi atau proyek. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Solusi Islam dan Partai X: Kedaulatan Ekonomi Berbasis Keadilan
Baik Islam maupun prinsip Partai X sama-sama menekankan keadilan dan amanah dalam pengelolaan ekonomi negara. Beberapa langkah solutif yang dapat ditempuh:
- Pemaknaan ulang Pancasila dan maqashid syariah sebagai dasar ekonomi berkeadilan.
- Kebijakan fiskal berbasis kesejahteraan rakyat, bukan beban utang.
- Reformasi hukum dan birokrasi dengan semangat amanah dan transparansi.
- Digitalisasi fiskal dan pengawasan publik, agar setiap rupiah negara sampai ke rakyat tanpa bocor.
- Musyawarah kenegarawanan nasional, melibatkan tokoh agama, intelektual, dan masyarakat sipil untuk merancang ulang hubungan keuangan pusat-daerah.
Penutup: Amanah Lebih Tinggi dari Angka
Islam mengingatkan bahwa ukuran kekuatan negara bukan pada besar pinjaman, tapi pada besar tanggung jawab terhadap rakyatnya.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Negara yang berutang untuk mensejahterakan rakyat boleh jadi bijak, tapi negara yang menambah beban rakyat demi menjaga citra pembangunan, sejatinya telah lalai dari amanah Ilahi.