Revisi UU MD3, Islam Ingatkan: Keadilan Gender Harus Jadi Amanah, Bukan Formalitas!

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam setiap alat kelengkapan Dewan (AKD) menjadi langkah penting menuju keadilan gender di parlemen. Namun, Islam mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada angka, melainkan harus diwujudkan dalam amanah dan tanggung jawab moral untuk menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Keadilan Gender dalam Pandangan Islam

Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama di hadapan Allah. Keduanya memiliki tanggung jawab yang setara dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan; sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
(QS. Ali Imran: 195)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak membeda-bedakan peran dan nilai amal berdasarkan jenis kelamin. Karena itu, setiap upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga publik harus dimaknai sebagai bentuk keadilan substantif bukan sekadar formalitas kekuasaan.

Perempuan Adalah Penopang Peradaban, Bukan Pelengkap Struktur

Islam mengajarkan bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam membangun bangsa. Dalam sejarah Islam, banyak perempuan yang menjadi penggerak perubahan, seperti Khadijah binti Khuwailid tokoh wirausaha yang menopang perjuangan Rasulullah SAW dan Aisyah RA, seorang ulama besar yang menjadi rujukan ilmu bagi generasi sahabat.

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan sejajar dalam tanggung jawab sosial dan moral. Maka, jika keterwakilan perempuan hanya dijadikan simbol atau pemenuhan angka, maka semangat Islam tentang keadilan telah disalahartikan.

Amanah Kepemimpinan Bukan Sekadar Jabatan

Islam menekankan bahwa jabatan adalah amanah, bukan kehormatan. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang menunaikan amanahnya dengan benar.”
(HR. Muslim)

Karena itu, setiap perempuan yang dipercaya duduk di lembaga publik harus memiliki integritas, kepakaran, dan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran bukan sekadar hadir untuk memenuhi kuota. Keadilan gender sejati bukan tentang jumlah kursi, tetapi tentang bagaimana suara perempuan menjadi suara bagi rakyat yang lemah dan tertindas.

Islam Menolak Formalitas, Menuntut Substansi

Al-Qur’an menegaskan bahwa nilai manusia diukur dari ketakwaan dan amalnya, bukan dari status atau atributnya.

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dengan semangat ini, keterwakilan perempuan harus dibangun di atas nilai moralitas, profesionalisme, dan tanggung jawab sosial. Sistem yang hanya menampilkan perempuan tanpa memberi ruang substantif bagi kepemimpinan dan keberpihakan rakyat akan kehilangan makna keadilannya.

Penutup: Kepemimpinan yang Berkeadilan Adalah Cerminan Iman

Keadilan gender dalam Islam bukanlah sekadar isu kesetaraan, tetapi bagian dari amanah kepemimpinan yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Rasulullah SAW bersabda:

“Pemimpin yang adil akan berada di bawah naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, revisi UU MD3 dan pelaksanaan keterwakilan perempuan harus diarahkan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan amanah. Islam menegaskan bahwa perempuan bukan simbol demokrasi, melainkan pilar peradaban yang memikul tanggung jawab besar menegakkan kebenaran, membela keadilan, dan menjaga kemuliaan bangsa.

Share This Article