UU Perfilman Usang, Islam Ingatkan: Kreativitas Tak Boleh Dikekang Regulasi Lama

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id  — Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia Chalim, menilai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sudah tak relevan dengan perkembangan industri modern. Ia mendorong agar regulasi ini segera direvisi, menyesuaikan dengan kebutuhan era digital dan ekonomi kreatif nasional.

“Film bukan hanya hiburan, tapi kekuatan ekonomi dan diplomasi budaya,” ujar Chusnunia di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, film nasional kini tumbuh pesat lebih dari 150 film lokal tayang sepanjang 2024 dengan penonton mencapai 80 juta orang. Angka itu menunjukkan besarnya potensi industri film dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif Indonesia.

Partai X: Negara Harus Hadir untuk Kreativitas

Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R Saputra, menilai revisi UU Perfilman harus berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan pelaku industri kreatif, bukan hanya pada kepentingan korporasi besar.

“Negara punya tiga tugas melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Itu termasuk insan kreatif,” tegasnya.

Ia menegaskan, negara wajib menciptakan ekosistem perfilman yang sehat, adil, dan bebas dari tekanan ekonomi maupun politik. Kebijakan perfilman, kata Prayogi, tidak boleh menjadi alat branding pejabat, melainkan sarana membangun martabat bangsa melalui karya dan kesejahteraan.

Namun, di tengah optimisme kebangkitan film nasional, Partai X juga mengingatkan bahaya moral yang bisa menggerogoti generasi kreatif, salah satunya melalui maraknya judi online.

“Bagaimana industri kreatif bisa berkembang kalau moral bangsa rusak oleh judi online?” katanya.

Pandangan Islam: Kreativitas Harus Berdiri di Atas Moral dan Amanah

Islam mengajarkan bahwa setiap karya manusia adalah bentuk amal yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang di antara kalian melakukan pekerjaan, maka ia melakukannya dengan itqan (sungguh-sungguh dan sempurna).” (HR. al-Bayhaqi)

Artinya, kreativitas dan profesionalitas adalah bagian dari ibadah, selama dilakukan dengan niat yang benar dan tidak melanggar nilai moral.
Allah SWT juga berfirman:

“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 105)

Maka dari itu, pengembangan industri film dalam Islam bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga pembangunan moral dan keadilan. Kreativitas tanpa nilai spiritual akan kehilangan arah, dan kebijakan tanpa moral akan kehilangan ruh.

Solusi Partai X: Reformasi Regulasi dan Kebangkitan Moral

Partai X menawarkan reformasi hukum berbasis kepakaran di bidang kreatif dan digital untuk mencegah penyalahgunaan kebijakan perfilman.

Selain itu, pendidikan moral berbasis Pancasila perlu diperkuat di sekolah-sekolah agar generasi kreatif tumbuh dengan karakter dan integritas.

Transformasi birokrasi digital juga perlu dilakukan agar proses perizinan film menjadi cepat, transparan, dan bebas dari praktik korupsi. Dengan langkah ini, industri film akan menjadi ekosistem adil, berdaulat, dan mensejahterakan rakyat.

Penutup: Film Harus Mencerahkan, Bukan Sekedar Menghibur

Film adalah cermin peradaban bangsa. Ia dapat menjadi jalan dakwah, pendidikan, dan penguat moral publik jika diarahkan dengan benar.

Islam mengingatkan, negara tidak boleh abai terhadap nilai-nilai budaya dan akhlak di tengah kebebasan berekspresi.

Jika kreativitas kehilangan akhlak, maka film berubah dari karya menjadi komoditas. Jika negara abai pada moral, maka rakyat kehilangan arah di tengah gemerlap layar.

Indonesia butuh kebijakan kreatif yang adil, bermoral, dan berpihak pada rakyat agar perfilman nasional tak hanya menghasilkan tontonan, tapi juga tuntunan bagi bangsa.

Share This Article