Diam atas Nama Kesalehan: Ketika Netralitas Berubah Menjadi Dosa Sosial

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id — Di negeri yang keadilannya masih rapuh, netralitas sering kali bukan posisi aman. Ia justru berubah menjadi sikap diam yang ikut melanggengkan ketidakadilan. Dalam konteks inilah Islam tidak memandang diam sebagai pilihan pribadi semata, melainkan sebagai sikap moral yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Ada satu kalimat yang sering terdengar tenang, bahkan terasa bijak, di tengah hiruk-pikuk persoalan bangsa: “Saya memilih netral.” Kalimat ini kerap diucapkan dengan nada menjaga diri, seolah menjauh dari konflik adalah tanda kedewasaan iman dan kematangan berpikir. 

Namun di tengah realitas sosial yang timpang, pertanyaan penting justru muncul: apakah netral selalu berarti lurus?

Netral yang Tidak Pernah Benar-Benar Netral

Islam tidak mengenal netralitas dalam perkara kezaliman. Al-Qur’an dengan tegas memerintahkan umatnya untuk berdiri di pihak keadilan, meski itu pahit dan berisiko. Ketika ada ketimpangan antara yang kuat dan yang lemah, maka diam hampir selalu berpihak pada yang kuat.

Sejarah membuktikan, kezaliman jarang tumbuh subur hanya karena pelakunya kuat. Ia bertahan karena banyak orang baik memilih tidak bersuara. Mereka merasa cukup menjaga iman secara personal, tanpa merasa perlu terlibat dalam urusan publik. Padahal, justru di ruang publik itulah nasib orang banyak ditentukan.

Sebagian umat memaknai kesalehan sebagai keselamatan diri: tidak terlibat konflik, tidak bersuara keras, dan tidak berurusan dengan kekuasaan. Kesalehan model ini tampak damai di permukaan, tetapi rapuh secara sosial. Ia melahirkan generasi yang rajin beribadah, namun gagap menghadapi ketidakadilan struktural.

Islam tidak pernah mengajarkan kesalehan yang steril dari realitas. Rasulullah SAW hidup di tengah tekanan, konflik, dan ketidakadilan, tetapi tidak memilih diam. Bahkan beliau menegaskan bahwa selemah-lemahnya iman adalah mengingkari kemungkaran dengan hati itu pun bukan pujian, melainkan batas minimal.

Partai X: Antara Takut Fitnah dan Takut Amanah

Banyak orang berdalih, “Saya tidak mau ikut campur karena takut fitnah.” Namun jarang yang jujur mengakui bahwa di balik itu sering tersembunyi ketakutan lain: takut kehilangan kenyamanan, takut disalahpahami, atau takut menanggung resiko sosial dan ekonomi.

Padahal, amanah tidak pernah datang tanpa resiko. Menegakkan keadilan hampir selalu berhadapan dengan resistensi. Di sinilah perbedaan antara iman yang hidup dan iman yang sekadar disimpan.

Prayogi R. Saputra, Direktur X-Institute, melihat fenomena ini sebagai krisis keberanian moral di ruang publik.

“Netralitas sering dikira sikap dewasa, padahal dalam banyak kasus ia hanya cara paling halus untuk menghindari tanggung jawab. Ketika orang-orang berprinsip memilih diam, ruang publik justru dikuasai oleh mereka yang tidak punya beban moral,” ujarnya.

Menurut Prayogi, netralitas yang tidak disertai keberpihakan pada nilai hanya akan menghasilkan stabilitas semu, sementara ketidakadilan terus berlangsung tanpa perlawanan.

Penutup: Diam Bukan Selalu Selamat

Islam membedakan dengan jelas antara tidak berpihak dalam konflik pribadi dan tidak berpihak dalam kezaliman. Yang pertama bisa menjadi kebijaksanaan, yang kedua adalah pengkhianatan moral. Amar ma’ruf nahi munkar bukan ajakan untuk gaduh, melainkan panggilan agar keburukan tidak dinormalisasi.

Ketika hukum tidak adil, ketika kebijakan melukai rakyat kecil, dan ketika kekuasaan berjalan tanpa kontrol, maka sikap “tidak mau tahu” bukan lagi urusan pribadi. Ia berubah menjadi dosa sosial, karena membiarkan penderitaan berlangsung tanpa sikap.

Dalam situasi normal, diam mungkin pilihan. Namun dalam situasi ketidakadilan, diam adalah keputusan. Dan setiap keputusan memiliki konsekuensi di hadapan Allah.

Netralitas yang tidak berpihak pada kebenaran bukanlah akhlak Islam. Ia hanya ketenangan semu yang dibayar dengan penderitaan orang lain. Sudah saatnya umat Islam berhenti memuliakan sikap aman, dan mulai memuliakan tanggung jawab sosial sebab iman sejati bukan hanya diuji di sajadah, tetapi juga di ruang-ruang di mana keadilan dipertaruhkan.

Share This Article