muslimx.id– Dalam setiap momentum memilih pemimpin, umat Islam kerap dihadapkan pada dilema yang berulang: memilih berdasarkan kedekatan emosional dan simbol agama, atau menimbang secara rasional dampak kepemimpinan ke depan. Tidak jarang, keputusan diambil dengan niat baik, tetapi tanpa standar yang jelas. Akibatnya, kekecewaan pun kembali terulang.
Islam sejatinya tidak membiarkan urusan kepemimpinan berjalan tanpa panduan. Ia meletakkan standar yang tegas dan bertanggung jawab, bukan sekadar pada siapa pemimpinnya, tetapi apa akibat dari kepemimpinannya.
Amanah: Fondasi Moral Kepemimpinan
Amanah adalah syarat pertama dan paling mendasar. Kekuasaan dalam Islam bukan kehormatan, melainkan beban yang berat. Rasulullah SAW mengingatkan dengan tegas:
“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Dan pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajibannya.” (HR. Muslim)
Hadis ini mematahkan anggapan bahwa kekuasaan adalah hadiah. Ia justru ujian yang akan dimintai pertanggungjawaban. Amanah berarti jujur, tidak menyalahgunakan wewenang, dan berani menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan diri dan kelompok.
Namun Islam tidak berhenti pada amanah saja. Amanah tanpa kapasitas bisa berujung pada kerusakan yang tidak disengaja.
Kapasitas: Syarat yang Sering Diabaikan
Kesalahan umum umat adalah menyamakan kesalehan personal dengan kecakapan publik. Padahal Rasulullah SAW pernah menolak permintaan jabatan dari sahabat yang saleh karena tidak memiliki kemampuan yang cukup.
Al-Qur’an memberikan prinsip jelas melalui ucapan putri Nabi Syu’aib:
“Sesungguhnya orang terbaik yang engkau pekerjakan adalah yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26)
Ayat ini menegaskan dua syarat utama pemimpin: kuat (kapasitas) dan terpercaya (amanah). Kuat di sini bukan hanya fisik, tetapi juga intelektual, manajerial, dan kemampuan mengambil keputusan. Tanpa kapasitas, niat baik pemimpin justru dapat melahirkan kebijakan yang keliru dan merugikan banyak orang.
Dampak Kebijakan: Ukuran yang Paling Nyata
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan akibat. Sebuah kebijakan tidak diukur dari seberapa religius narasinya, tetapi dari maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya. Inilah titik di mana umat sering lengah: terpesona oleh niat dan simbol, tetapi lupa menimbang dampak nyata.
Kaidah fikih menyebutkan:
“Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
Artinya, pemimpin yang baik bukan hanya yang menjanjikan kebaikan, tetapi yang mampu meminimalkan kerusakan. Kebijakan yang menyengsarakan rakyat kecil, memperlebar ketimpangan, atau merusak tatanan sosial tidak bisa dibenarkan, meskipun dibungkus dengan jargon religius.
Penutup: Dari Simbol ke Substansi
Islam menempatkan kepemimpinan dalam dua dimensi sekaligus dunia dan akhirat. Seorang pemimpin mungkin bisa lolos dari pertanggungjawaban hukum dunia, tetapi tidak akan lolos dari hisab Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah memimpin rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kegagalan moral dalam kepemimpinan bukan persoalan kecil. Ia menyangkut keselamatan akhirat.
Standar Islam dalam memilih pemimpin tidak pernah dangkal. Ia tidak berhenti pada simbol agama, retorika saleh, atau kedekatan emosional. Islam menuntut umat untuk menimbang amanah, kapasitas, dan akibat secara jujur dan bertanggung jawab.
Memilih pemimpin adalah bagian dari ibadah sosial. Kesalahan memilih bukan hanya berdampak pemerintahan, tetapi juga bernilai moral. Sudah saatnya umat Islam naik kelas dalam memahami kenegaraan lebih cermat menilai, lebih berani berpikir, dan lebih siap bertanggung jawab.
Sebab di hadapan Allah, yang akan ditanya bukan hanya siapa yang kita pilih, tetapi apa dampak dari pilihan itu bagi keadilan dan kemaslahatan umat.