muslimx.id — Pengungkapan Jaksa Penuntut Umum terkait dugaan siasat pengunduran diri eks Mendikbudristek Nadiem Makarim dari jabatan direksi perusahaan digital kembali membuka diskursus serius tentang konflik kepentingan dalam pengelolaan negara. Fakta persidangan menegaskan bahwa langkah administratif mundur dari jabatan tidak otomatis menghapus konflik kepentingan substantif.
Dalam perspektif Islam, jabatan publik adalah amanah yang menuntut kejujuran, keterbukaan, dan pelepasan kepentingan pribadi secara nyata, bukan sekadar formalitas hukum.
Amanah Kekuasaan dalam Timbangan Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan bahwa kekuasaan dan jabatan adalah titipan yang harus dijalankan secara adil dan transparan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil” (QS. an-Nisa’ [4]: 58).
Ayat ini menegaskan bahwa amanah tidak cukup dijaga melalui simbol atau prosedur administratif. Substansi keadilan dan kejujuran menjadi ukuran utama.
Konflik Kepentingan dan Bahaya Terselubung
Jaksa menilai pengunduran diri formal dari jabatan direksi tidak menghilangkan kendali substantif terhadap perusahaan. Dalam Islam, praktik semacam ini masuk dalam kategori tadlis menyembunyikan hakikat di balik tampilan luar yang seolah sah.
Allah SWT mengingatkan,
“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya” (QS. al-Baqarah [2]: 42).
Ketika kebijakan publik berpotensi dipengaruhi kepentingan bisnis terselubung, maka keadilan publik berada dalam ancaman serius.
Hadis tentang Jabatan sebagai Beban Pertanggungjawaban
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan pada hari kiamat ia akan menjadi penyesalan dan kehinaan kecuali bagi orang yang menunaikannya dengan benar” (HR. Muslim).
Hadis ini menjadi peringatan bahwa jabatan bukan kehormatan pribadi, melainkan beban tanggung jawab yang akan dipertanyakan di hadapan Allah.
Peringatan Partai X: Negara Harus Bersih dari Kepentingan Bisnis
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa konflik kepentingan adalah ancaman langsung terhadap keadilan kebijakan negara.
“Negara memiliki tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Konflik kepentingan pejabat publik, apalagi di sektor strategis seperti pendidikan, mencederai ketiga tugas itu sekaligus,” tegas Prayogi.
Menurutnya, kebijakan pendidikan harus bebas dari pengaruh korporasi dan kepentingan bisnis global yang dapat menggerus kedaulatan negara.
Risiko Jika Transparansi Diabaikan
Jika konflik kepentingan hanya diselesaikan secara simbolik, dampaknya sangat luas:
- Kebijakan publik kehilangan legitimasi moral
- Kepercayaan masyarakat terhadap negara menurun
- Sektor strategis rentan dikendalikan kepentingan non-publik
- Negara kehilangan kedaulatan kebijakan jangka panjang
Dalam Islam, kerusakan (fasad) sering berawal dari pengkhianatan amanah di lingkaran kekuasaan.
Solusi Berbasis Nilai Islam dan Tata Kelola Negara
Untuk mencegah konflik kepentingan serupa di masa depan, sejumlah langkah perlu ditempuh:
- Pemutusan Konflik Kepentingan Secara Substantif
Pejabat publik wajib benar-benar melepaskan kendali dan manfaat bisnis, bukan sekadar mundur formal. - Aturan Transparansi yang Lebih Ketat
Seluruh relasi bisnis pejabat harus dibuka dan diaudit secara independen. - Pengawasan Kebijakan Strategis Sejak Awal
Setiap kebijakan besar, terutama di pendidikan dan teknologi, harus diawasi lembaga independen. - Audit Terbuka Pengadaan Nasional
Pengadaan berbasis teknologi wajib diuji dari sisi persaingan sehat dan kepentingan publik. - Internalisasi Etika Amanah dalam Jabatan Publik
Nilai Islam tentang kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab akhirat perlu menjadi fondasi kepemimpinan.
Islam menegaskan bahwa kekuasaan tanpa transparansi adalah pintu kezaliman. Negara yang kuat bukan hanya ditopang kecanggihan teknologi, tetapi oleh kejujuran para pengelolanya.
Ketika amanah dijaga secara nyata, bukan simbolik, kebijakan publik akan berpihak pada masa depan bangsa, bukan kepentingan segelintir pejabat atau korporasi.