Presiden RI Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan kebijakan yang kontroversial, yaitu penghapusan kuota impor untuk barang-barang strategis, yang memungkinkan siapa saja untuk mengimpor barang tertentu tanpa pembatasan kuota.
Kebijakan ini, meskipun membuka pintu bagi persaingan yang lebih terbuka dan pasar yang lebih kompetitif, memicu berbagai reaksi dari kalangan pelaku industri domestik, pengamat ekonomi, serta masyarakat luas.
Pihak yang mendukung kebijakan ini berpendapat bahwa dengan menghapus kuota impor, pasar akan menjadi lebih efisien, terbuka, dan kompetitif. Dengan semakin banyaknya importir yang terlibat, harga barang-barang strategis bisa lebih terjangkau, dan kualitas produk akan meningkat. Hal ini diyakini akan mendorong terciptanya inovasi, serta memberikan pilihan lebih banyak kepada konsumen.
Para ekonom juga berpendapat bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan konektivitas pasar Indonesia dengan pasar global. Dengan mengurangi hambatan impor, Indonesia dapat memanfaatkan akses lebih besar terhadap teknologi dan barang-barang yang dibutuhkan untuk sektor industri yang lebih maju.
Namun, kebijakan ini juga menuai kritik, terutama dari kalangan industri lokal yang khawatir akan tergerusnya daya saing mereka. Banyak pengusaha lokal yang mengandalkan proteksi melalui kuota impor, dan khawatir mereka akan kalah bersaing dengan produk luar negeri yang lebih murah dan efisien. Ini bisa berdampak buruk pada sektor-sektor vital yang masih dalam tahap pengembangan, seperti pertanian, tekstil, dan manufaktur.
Lebih jauh lagi, penghapusan kuota barang strategis memunculkan kekhawatiran tentang ketahanan nasional. Negara bisa menjadi terlalu bergantung pada impor barang-barang yang penting untuk kebutuhan dasar dan keamanan, seperti pangan, energi, serta barang-barang teknologi yang terkait dengan pertahanan. Ketergantungan ini berisiko mengurangi kontrol Indonesia atas sektor-sektor yang vital bagi stabilitas dan kedaulatan negara.
Dalam perspektif Islam, kebijakan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati, agar tidak melanggar prinsip-prinsip dasar yang sangat ditekankan dalam syariat, yaitu keadilan ekonomi, kemandirian, tanggung jawab (amanah), dan ketahanan negara.
Keadilan Ekonomi (Al-‘Adl) Islam sangat menekankan prinsip keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam ekonomi. Setiap transaksi, kebijakan, dan pengambilan keputusan harus dilakukan secara adil dan tidak merugikan pihak lain.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Dalam konteks ini, keadilan ekonomi yang dimaksud adalah memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan industri dalam negeri, khususnya dalam sektor-sektor yang vital bagi ekonomi nasional.
Kemandirian Ekonomi (Istiqamah) Islam mengajarkan pentingnya kemandirian dan tidak bergantung pada pihak lain, terutama dalam sektor-sektor strategis. Kemandirian ini tidak hanya berlaku bagi individu, tetapi juga untuk negara. Dalam hal ini, kebijakan yang membuka pintu untuk ketergantungan yang lebih besar pada barang-barang impor tanpa pengawasan yang ketat dapat merugikan kemandirian Indonesia di masa depan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan Allah telah memberikan kepada kalian dari apa yang kalian tidak mengharapkannya…” (QS. An-Nisa: 114)
Tanggung Jawab (Amanah) Pemimpin dalam Islam diamanahi untuk menjaga kesejahteraan rakyat dan negara. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus memperhatikan nasib rakyat dan industri lokal. Dalam hal ini, penghapusan kuota impor harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan tidak mengorbankan kepentingan jangka panjang Indonesia. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketahanan Negara (Al-Mīzān) Islam mengajarkan prinsip keseimbangan dan ketahanan dalam segala hal, termasuk ekonomi. Ketahanan negara yang berkaitan dengan kedaulatan pangan, energi, dan industri harus dijaga. Kebijakan yang membuka pintu untuk impor barang strategis tanpa kontrol yang memadai berisiko memperlemah ketahanan nasional, dengan membuat negara bergantung pada pasokan dari negara lain. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Kebijakan penghapusan kuota impor barang strategis memang memiliki potensi untuk membuka pasar yang lebih terbuka dan kompetitif. Namun, dari perspektif Islam, kebijakan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip keadilan, kemandirian, amanah, dan ketahanan nasional.
Sebagai pemimpin, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan industri dalam negeri atau melemahkan kedaulatan ekonomi negara.
Dengan demikian, meskipun kebijakan ini bisa membuka peluang, penting untuk menyeimbangkan antara membuka pasar dan menjaga kesejahteraan serta ketahanan ekonomi Indonesia. Kebijakan ini perlu diatur sedemikian rupa agar tetap mengutamakan kepentingan nasional dan prinsip-prinsip Islam yang mengedepankan keadilan dan kemandirian dalam setiap keputusan ekonomi.