Dunia sedang bergejolak. Di satu sisi, kita menyaksikan penderitaan tak berujung di Palestina, kelaparan di Sudan, krisis kemanusiaan di Yaman, hingga penindasan terhadap Muslim di wilayah seperti Xinjiang. Namun di sisi lain, kita justru disuguhi pemandangan yang kontras: jagat maya Indonesia dipenuhi perdebatan selebriti, adu opini di dunia pemerintah tanpa akhlak, hingga perang komentar soal hal-hal remeh yang viral.
Di tengah hiruk-pikuk informasi dan derasnya arus isu global, umat Islam Indonesia, sebagai populasi Muslim terbesar dunia, sering kali terjebak dalam dua sikap ekstrem: terlalu pasif dan diam, atau terlalu reaktif tapi tidak substantif. Keduanya lahir dari akar yang sama: krisis kesadaran sosial dan akhlak Islam yang mendalam.
Saat Masjid Al-Aqsha kembali dikepung dan anak-anak Gaza kehilangan tempat tinggal, sebagian dari kita justru asyik berdebat soal siapa yang lebih “hijrah”, siapa ustaz yang layak ditonton, atau siapa influencer yang “menyimpang”. Sebagian umat kehilangan arah karena lebih sibuk menjaga citra digital daripada nurani sosial.
Padahal, Islam bukan sekadar identitas; ia adalah gerakan hati, ilmu, dan amal. Rasulullah SAW bersabda:
“Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di tengah masyarakat Indonesia saat ini, kita menyaksikan paradoks: mudah tersentuh oleh video viral kucing terlantar, tapi tidak tergugah oleh kabar genosida umat Muslim. Budaya empati selektif ini tumbuh karena algoritma digital dan ego sektoral yang memisahkan keadilan dari kesadaran ruhani.
Tidak sedikit pula yang bersikap keras terhadap sesama Muslim karena beda ormas, tetapi diam terhadap ketidakadilan yang lebih besar. Ini bukan lagi soal informasi, ini soal orientasi iman dan kematangan berpikir.
Islam tidak pernah mengajarkan umat untuk apatis, juga tidak mendorong kebisingan tanpa makna. Rasulullah SAW dalam banyak peristiwa justru menunjukkan respon yang bijak, strategis, dan penuh cinta. Sikap kita terhadap isu dunia seharusnya berpijak pada tiga hal: Ilmu yang jernih: pahami duduk perkara, bukan ikut arus. Amanah sosial: sebarkan kebenaran dengan adab, bukan cacian. Amal nyata: dari doa, donasi, advokasi, hingga edukasi.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri.” (QS. An-Nisa: 135)
Kini, saat dunia menghadapi tantangan besar, perubahan iklim, ketidakadilan global, krisis kemanusiaan, umat Islam Indonesia punya peran strategis. Tapi itu semua harus dimulai dari kepekaan hati dan kekuatan akhlak.
Karena sejatinya, kekuatan umat bukan di jumlahnya, tapi di kepeduliannya.
Bukan di suara kerasnya, tapi di kebermanfaatannya. Mari jaga lisan, luruskan niat, dan hadir sebagai umat yang bukan hanya bangga dengan identitas Islam, tapi juga aktif memikul tanggung jawabnya.