Pandangan Islam Tentang Trend “Spill Gambar Murid” di Tiktok

muslimX
By muslimX
4 Min Read

Dalam hiruk pikuk dunia maya, tren berganti begitu cepat. Salah satunya yang kini ramai di TikTok adalah fenomena “spill gambar murid”. Video ini menampilkan hasil karya siswa dari menggambar hingga mewarnai, dan dilengkapi dengan nilai yang diberikan oleh sang guru.

Awalnya tampak lucu dan tidak berbahaya. Tapi jika ditelaah lebih dalam, tren ini menyingkap persoalan serius: eksploitasi anak yang disamarkan dalam konten hiburan.

Di tengah budaya digital yang haus akan pengakuan, anak-anak kini kerap jadi bahan konten: entah untuk “menghibur”, “menginspirasi”, atau sekadar “viral-viral lucu”. Terkadang juga tindakan seperti: foto anak murid dibagikan, kadang tanpa sensor, tanpa izin, tanpa pemikiran panjang tentang dampaknya. Komentar netizen pun tak jarang mengandung candaan sarkas, bahkan hinaan terselubung.

Di balik layar, orang dewasa: guru, orang tua, atau pembuat konten, terkadang melupakan satu hal penting: anak adalah manusia utuh yang punya hak atas privasi, harga diri, dan tumbuh kembang yang sehat. Apa yang lucu bagi orang dewasa hari ini bisa menjadi luka tak terlihat bagi anak esok hari.

Bayangkan jika seorang anak dibandingkan secara terbuka baik secara fisik, kecerdasan, atau sikap. Ia bisa tumbuh dengan rasa rendah diri, bingung tentang identitasnya, atau malah kehilangan kepercayaan diri. Anak-anak bukan template seragam yang bisa dinilai dalam satu ukuran viralitas. Mereka tumbuh dengan ritme, bakat, dan tantangan masing-masing.

Lebih ironis, orang tua sendiri kadang menjadi bagian dari normalisasi ini. Alih-alih melindungi, mereka justru merasa bangga saat anaknya viral, tanpa sadar bahwa yang diunggah bisa menjadi jejak digital permanen yang suatu saat bisa menjerat mental sang anak.

Dalam Islam, anak adalah amanah, bukan alat pamer. Mereka adalah titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini tak hanya soal aqidah, tapi juga tentang perlindungan jiwa dan kehormatan anggota keluarga, termasuk menjaga mereka dari kerusakan moral, tekanan publik, dan eksploitasi terselubung.

Rasulullah SAW juga memberi teladan luar biasa dalam mendidik anak. Beliau tak pernah mempermalukan, merendahkan, apalagi mempermainkan anak-anak di depan umum. Bahkan ketika Hasan dan Husein menaiki punggung beliau saat salat, Rasul tidak marah, beliau justru melanjutkan salat lebih lama demi tidak mengganggu dunia kecil mereka.

Seharusnya kita sebagai orang dewasa harus memiliki sikap bijak seperti: Pikir dua kali sebelum unggah konten anak. Tanyakan: apakah ini aman untuk jangka panjang? Apakah ini akan membuat anak dihargai atau justru disalahpahami?

Hormati ruang pribadi anak. Mereka punya hak untuk tidak dijadikan konsumsi publik, terutama untuk kepentingan hiburan. Didik anak tanpa menjadikannya bahan perbandingan. Fokus pada tumbuh kembang unik masing-masing. Kembalikan niat bermedia sosial ke jalur maslahat. Alih-alih mencari tepuk tangan dunia, jadikan medsos sebagai ladang amal dan ilmu.

Setiap tawa di kolom komentar mungkin hanya berlangsung sesaat, tapi dampaknya pada psikologis anak bisa bertahan bertahun-tahun. Jangan korbankan privasi dan martabat anak hanya demi likes dan views.

Karena sejatinya, anak adalah ladang kebaikan, bukan bahan konten. Mereka bukan untuk dieksploitasi, tapi untuk dilindungi, diarahkan, dan dimuliakan.

Share This Article