Kepemimpinan adalah amanah besar yang membawa tanggung jawab dunia dan akhirat. Namun, sejarah umat manusia, termasuk umat Islam tidak pernah lepas dari hadirnya pemimpin-pemimpin yang berlaku zalim, menyimpang dari nilai-nilai kebenaran, dan menindas rakyatnya.
Salah satu hadits yang sering dijadikan rujukan dalam menyikapi pemimpin zalim adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Namun, hadits ini juga kerap menjadi perdebatan, terutama karena tampak menyerukan kepatuhan mutlak bahkan dalam kondisi ketidakadilan. Bagaimana seharusnya hadits ini dipahami?
“Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dariku dan tidak mengikuti sunnahku. Di antara mereka ada orang-orang yang berhati setan dalam jasad manusia.”
Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang harus kami lakukan jika kami mengalami hal itu?”
Rasulullah menjawab:
“Dengarlah dan taatilah pemimpin, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Dengar dan taatilah.” (HR. Muslim, no. 1847)
Hadits ini merupakan salah satu peringatan dari Nabi Muhammad, mengenai kondisi umat setelah beliau wafat. Akan muncul pemimpin-pemimpin yang tidak mengikuti sunnah beliau dan berperilaku seperti setan: yakni zalim, menyesatkan, dan menindas. Meski demikian, Rasulullah tetap memerintahkan umat untuk mendengar dan menaati pemimpin tersebut.
1. Taat dalam Hal yang Tidak Mengandung Maksiat
Mayoritas ulama menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak. Hal ini didasarkan pada kaidah:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Pencipta.”
(HR. Ahmad dan Hakim)
Artinya, jika pemimpin menyuruh berbuat dosa atau melanggar syariat, maka umat tidak boleh mentaatinya.
2. Larangan Memberontak, Namun Amar Ma’ruf Nahi Munkar Tetap Berlaku
Hadits ini juga dipahami sebagai seruan untuk tidak memberontak secara fisik terhadap pemimpin yang zalim karena dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, atau kerusakan yang lebih besar (fitnah).
Namun, amar ma’ruf nahi munkar tetap wajib dilakukan. Bahkan banyak hadits lain yang menunjukkan pentingnya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim:
“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Jadi, meskipun ketaatan tetap dijaga demi stabilitas umum, kritik yang konstruktif dan amar ma’ruf nahi munkar harus tetap ditegakkan dengan cara yang bijaksana dan damai. Beberapa kondisi yang oleh sebagian ulama klasik dan kontemporer dianggap memperbolehkan rakyat tidak mentaati pemimpin antara lain:
- Jika pemimpin menyuruh kepada kemaksiatan secara langsung.
- Jika ia menampakkan kekufuran yang nyata dan terbukti secara syar’i.
- Jika sudah tidak ada cara damai atau legal yang bisa ditempuh.
- Jika ada kekuatan dan potensi untuk menggantikan kepemimpinan dengan yang lebih adil tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.