Pernyataan Mahfud MD yang menyebut bahwa pemakzulan Gibran Rakabuming Raka “secara teoretis ketatanegaraan bisa, tapi secara kebijakan pemerintah akan sulit” mengingat pemerintah yang dijalankan di Indonesia, saat ini menjadi pernyataan yang menarik perhatian publik.
Dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official (Rabu, 7 Mei 2025), tokoh hukum tata negara ini mengakui adanya jalur konstitusional yang memungkinkan pemakzulan seorang pemimpin, namun menekankan realitas kebijakan pemerintah yang membuatnya sulit diwujudkan.
Hal ini memunculkan diskursus publik: Apakah mungkin dan seharusnya kita mempertimbangkan pemakzulan atas dasar ketidakefektifan atau ketidaklayakan kepemimpinan? Bagaimana pandangan Islam menyikapi hal ini?
Secara hukum tata negara Indonesia, pemakzulan wakil presiden, sebagaimana presiden diatur dalam UUD 1945 Pasal 7A dan 7B. Seorang pemimpin bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan tercela. Mekanisme ini bersifat legal dan konstitusional.
Namun, Mahfud MD menyoroti realitas bahwa pemakzulan sulit karena membutuhkan dukungan mayoritas di DPR dan proses panjang yang melibatkan Mahkamah Konstitusi. Di sinilah teori hukum seringkali bertabrakan dengan praktik kekuasaan.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah. Ketika amanah ini tidak ditunaikan dengan baik, Islam mendorong adanya perubahan atau penggantian pemimpin, dengan tetap mempertimbangkan kemaslahatan umat dan menghindari kekacauan (fitnah).
“Barang siapa diangkat menjadi pemimpin atas urusan kaum Muslimin, lalu tidak memperhatikan mereka dengan jujur dan ikhlas, maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang tidak membawa kemaslahatan rakyat bisa dan harus dipertanyakan.
“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Islam tidak melarang koreksi terhadap pemimpin, bahkan menganggapnya sebagai bentuk jihad yang utama, selama dilakukan dengan adab dan hikmah.
Jadi bolehkah Mengganti Pemimpin? Mayoritas ulama membolehkan penggantian pemimpin jika: pemimpin berbuat zalim secara terang-terangan, mengabaikan hak-hak rakyat, atau melanggar syariat atau amanah kepemimpinan.
Namun, metode penggantiannya harus menghindari fitnah dan pertumpahan darah, sesuai dengan maqashid syariah (tujuan hukum Islam): menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Dalam konteks ini, pemakzulan bukan berarti kudeta. Ia adalah prosedur konstitusional yang terbuka untuk dikaji ketika seorang pemimpin: Tidak memenuhi kapasitas kepemimpinan, melanggar prinsip keadilan, atau tidak mampu menjalankan tugas negara secara profesional.
Pernyataan Mahfud MD membuka ruang penting untuk merenungkan ulang makna kepemimpinan dalam negara demokrasi. Islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan akuntabilitas seorang pemimpin. Mengganti pemimpin yang tidak amanah bukanlah aib, tapi bagian dari menjaga kemaslahatan rakyat.
Dalam bingkai Islam, mengkritik pemimpin bukan berarti memberontak, dan mengganti pemimpin bukan berarti makar, asalkan dilakukan dengan cara yang sah dan maslahat.