Program Kesejahteraan Sosial di Zaman Umar bin Khattab

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA, dunia Islam memasuki era keemasan yang tidak hanya ditandai dengan perluasan wilayah, tetapi juga lompatan besar dalam sistem kesejahteraan sosial. Di bawah kepemimpinannya, umat Islam merasakan keadilan, kemakmuran, dan perlindungan sosial yang nyata, bahkan oleh mereka yang bukan beragama Islam.

Satu kalimat yang terkenal dari Umar bin Khattab merangkum filosofi kepemimpinannya:

“Andai ada seekor keledai yang terperosok di Irak, maka aku takut Allah akan menanyakan, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya, wahai Umar?’”

Itulah bentuk tanggung jawab pemimpin yang luar biasa terhadap rakyatnya, termasuk terhadap kesejahteraan yang menyeluruh.

Program Kesejahteraan Sosial di Era Umar bin Khattab

1. Baitul Mal sebagai Jantung Distribusi Kesejahteraan

Umar mengelola Baitul Mal (perbendaharaan negara) dengan sangat transparan. Semua rakyat, termasuk non-Muslim, berhak atas bantuan sosial. Dana dari zakat, jizyah, kharaj (pajak tanah), dan rampasan perang disalurkan kembali untuk:

  • Membangun infrastruktur publik
  • Menyantuni anak yatim dan orang miskin
  • Membayar gaji pegawai dan tentara secara layak
  • Membiayai pendidikan dan keagamaan.

2. Pemberian Santunan Tetap

Umar menetapkan tunjangan tetap untuk warga negara, termasuk: Anak-anak, janda, orang tua yang tidak mampu, dan penyandang disabilitas.

Bahkan ada kisah seorang tua Nasrani yang diberi tunjangan karena tak mampu bekerja dan tak memiliki keluarga. Umar berkata, “Kami tidak adil jika memungut pajak darimu saat muda, tapi membiarkanmu terlantar saat tua.”

3. Lumbung Pangan dan Logistik

Umar membangun gudang logistik di setiap wilayah untuk cadangan pangan dan distribusi cepat saat terjadi bencana atau kelaparan. Di masa paceklik, Umar sendiri tidak makan daging dan minyak, demi merasakan derita rakyatnya.

Namun kini setiap musim kampanye, kita disuguhi janji-janji indah: “akan berpihak pada rakyat,” “menghapus kemiskinan,” “memberantas korupsi,” dan “banyak lapangan kerja”. Namun, begitu kursi empuk kekuasaan diduduki, tak sedikit yang lupa dari mana mereka berasal: dari suara rakyat.

Alih-alih menjadi pelindung dan pelayan, banyak pemimpin justru sibuk memperkaya diri, membangun dinasti, dan menumpuk harta melalui jalur licik dan licin. Rakyat yang dulu mengantar mereka ke tampuk kuasa, kini ditinggalkan dalam barisan panjang antrean bantuan, kelaparan, dan pengangguran.

 Bandingkan dengan Umar bin Khattab, yang ketika menjabat sebagai khalifah, memanggul sendiri karung gandum untuk janda yang kelaparan. Atau Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang meski menjadi pemimpin tertinggi, masih membersihkan rumah seorang nenek buta setiap pagi. Mereka bukan hanya takut tidak adil, mereka takut masuk neraka karena lalai terhadap rakyat.

Rakyat Tidak Butuh Pemimpin Sempurna, Tapi Pemimpin yang Peduli

Rakyat tidak menuntut pemimpin harus sempurna. Mereka hanya ingin didengar, dilindungi, dan diperhatikan. Mereka ingin pemimpinnya hadir saat banjir datang, saat harga naik, saat rumah mereka roboh, saat anak mereka tak bisa sekolah. Bukan hanya hadir di baliho dan pidato. Tugas negara harusnya melindungi rakyat, mengatur rakyat dan melayani rakyat.

Semoga kelak masih ada pemimpin seperti Umar dan Abu Bakar, yang takut kenyang saat rakyat lapar, dan menangis karena tanggung jawab akhirat, bukan karena hilangnya jabatan dunia.

Sebab jabatan itu fana. Tapi amal kepemimpinan akan kekal dalam catatan langit.

Share This Article