Trias Politika dalam Sejarah Islam: Jejak Kekuasaan yang Terpisah dan Terjaga

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Dalam diskursus ketatanegaraan modern, istilah Trias Politika mengacu pada pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga pilar utama: legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana), dan yudikatif (pengadil). Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Montesquieu, filsuf asal Prancis, melalui karyanya De l’Esprit des Lois (The Spirit of Laws) pada abad ke-18, sebagai bentuk perlawanan terhadap absolutisme dan tirani kerajaan.

Namun, jauh sebelum dunia Barat merumuskan konsep ini, sejarah Islam terutama pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin, telah menunjukkan praktik yang secara substansi mencerminkan semangat Trias Politika, meskipun tidak dalam bentuk terminologi atau sistem institusional seperti negara-negara modern.

Jejak Trias Politika di Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin

Rasulullah sebagai kepala negara Madinah memang memegang semua unsur kekuasaan: beliau sebagai pemimpin eksekutif, pemutus hukum (yudikatif), dan penyampai wahyu (sekaligus dasar hukum/legislatif). Namun perlu dicatat bahwa wewenang beliau berasal dari wahyu, bukan dari kehendak pribadi atau absolutisme. Bahkan dalam pelaksanaan kekuasaan, Rasulullah kerap bermusyawarah dengan para sahabat.

1. Legislatif dalam Islam

Fungsi legislatif dalam Islam tidak sepenuhnya setara dengan legislatif dalam sistem demokrasi sekuler. Dalam Islam, hukum utama bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Namun, ijtihad para ulama, hasil musyawarah, dan maqashid syariah memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan hukum dalam perkara-perkara baru (tasyri’) selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, seperti Umar bin Khattab, fungsi legislasi berkembang dalam bentuk ijtihad kolektif, dengan prinsip mashlahat dan keadilan sebagai dasar hukum.

2. Eksekutif dalam Islam

Kepemimpinan Rasulullah ﷺ dan para khalifah merupakan bentuk kekuasaan eksekutif dalam Islam. Mereka menjalankan hukum, menegakkan keamanan, mengelola zakat, distribusi harta, dan membentuk kebijakan umum umat. Namun, tidak pernah kekuasaan ini dijalankan secara otoriter. Kekuasaan eksekutif dalam Islam dibatasi oleh syariat dan dikontrol oleh nilai-nilai akhlak dan pengawasan umat.

3. Yudikatif dalam Islam

Fungsi kehakiman dalam Islam dipisahkan dari kekuasaan eksekutif. Pada masa Nabi, para sahabat tertentu seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit diangkat menjadi qadhi (hakim) dalam perkara-perkara tertentu. Mereka menegakkan hukum secara independen berdasarkan syariat.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, sistem pengadilan semakin kokoh. Khalifah Umar bin Khattab bahkan mencopot gubernur yang mengintervensi urusan hakim, karena ia menyadari pentingnya independensi peradilan.

Trias Politika dalam Islam: Konsep yang Tak Sekadar Pemisahan

Islam memandang kekuasaan bukan sebagai alat dominasi, melainkan amanah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Karenanya, meskipun tidak secara eksplisit membagi kekuasaan dalam tiga institusi terpisah seperti negara modern, nilai substansial dari Trias Politika telah diterapkan:

  • Islam mengatur agar penguasa tidak sewenang-wenang (check and balance)
  • Islam menjamin keadilan hukum dan independensi hakim
  • Islam menjadikan syariat sebagai batas kekuasaan legislatif

Berbeda dengan sistem sekuler modern, dalam Islam semua jenis kekuasaan harus tunduk kepada syariat Allah sebagai hukum tertinggi. Maka, jika dalam sistem modern, Trias Politika menjamin rakyat dari kediktatoran manusia, maka dalam Islam kekuasaan dijaga agar tidak menyimpang dari petunjuk Ilahi.

Sejarah Islam membuktikan bahwa nilai-nilai pemisahan kekuasaan bukanlah hal asing dalam peradaban Islam. Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang sehat adalah kekuasaan yang berbasis syariat, akhlak, dan tanggung jawab publik.

Trias Politika dalam konteks Islam bukan sekadar institusi, tetapi nilai spiritual dan moral yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk menegakkan keadilan, bukan menguasai manusia. Maka, pelajaran dari sejarah Islam bisa menjadi inspirasi bagi sistem ketatanegaraan modern: bahwa kekuasaan sejati bukan milik manusia, tapi amanah dari Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

Share This Article