muslimx.id — Di era media sosial saat ini, fenomena “flexing” atau memamerkan harta, pencapaian, maupun gaya hidup mewah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital. Dari mobil mahal, barang bermerek, hingga liburan ke luar negeri, konten semacam ini mendominasi lini masa.
Namun muncul pertanyaan penting: bolehkah flexing dalam pandangan Islam? Apakah pamer keberhasilan bertentangan dengan nilai-nilai syariat?
Definisi Flexing dalam Konteks Sosial dan Religius
Secara umum, flexing berarti menampilkan kekayaan, kemewahan, atau keberhasilan di hadapan publik dengan tujuan tertentu—baik untuk motivasi, hiburan, hingga pencitraan. Dalam konteks syariat, tindakan ini bisa masuk ke dalam wilayah riyā’ (pamer), takabbur (sombong), atau tabdzir (berlebihan), tergantung pada niat dan dampaknya.
Islam Menyukai Keindahan, tapi Tidak Kesombongan
Islam tidak melarang seseorang untuk hidup nyaman atau menampilkan nikmat yang diberikan Allah, selama dilakukan dengan syukur dan tidak menyombongkan diri.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa menampilkan nikmat bukanlah masalah, asalkan tidak disertai dengan merendahkan orang lain atau niat menyombongkan diri.
Hati-hati Terjebak dalam Riyā’ dan Israf
Flexing bisa menjadi perbuatan tercela jika diniatkan untuk pamer, mencari pengakuan, atau membandingkan hidup dengan orang lain.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu membelanjakan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara setan.” (QS. Al-Isra: 26–27)
“Maka adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa… maka Kami akan mudahkan baginya jalan kemudahan. Namun barang siapa kikir dan merasa cukup… maka Kami akan mudahkan baginya jalan kesulitan.” (QS. Al-Lail: 5–10)
Ayat ini mengingatkan bahwa kekayaan harus dikelola dengan hikmah, bukan dijadikan alat untuk eksistensi sosial semata.
Flexing Bisa Memicu Kecemburuan Sosial
Dalam masyarakat yang belum merata secara ekonomi, flexing juga dapat memicu iri hati, rasa rendah diri, atau ketimpangan sosial. Rasulullah SAW telah mengingatkan tentang pentingnya menjaga perasaan orang lain:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Unggahan yang bersifat pamer bisa menjadi bentuk ucapan atau ekspresi digital yang tidak bijak, terutama jika menyakiti atau memprovokasi orang lain secara emosional.
Alternatif: Hidup Sederhana tapi Bermakna
Gaya hidup Islami lebih menekankan pada prinsip qana’ah (merasa cukup), syukur, dan sederhana. Rasulullah SAW sendiri menjalani kehidupan yang sangat bersahaja meskipun beliau mampu hidup lebih mewah.
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan: Flexing Itu Boleh, Tapi…
Islam tidak melarang menunjukkan nikmat, asal:
Tidak berniat sombong atau pamer
Tidak menimbulkan kecemburuan sosial
Dilakukan dengan rasa syukur dan rendah hati
Tidak mengarah pada pemborosan atau gaya hidup berlebihan
Jika dilakukan dengan niat baik misalnya untuk inspirasi, motivasi, atau testimoni rezeki Allah maka flexing bisa menjadi sarana syiar. Namun jika sudah menjurus ke takabbur atau merendahkan orang lain, maka itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Di era digital ini, penting bagi umat Muslim terutama generasi muda untuk memahami nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam, dan bijak dalam bermedia sosial. Hidup bermartabat bukan soal seberapa banyak yang dimiliki, tetapi bagaimana kita mengelola nikmat dengan amanah dan akhlak yang baik.