Ngaku Hormat, Tapi Kok Kayak Kultus? Ini Bahaya Mencium Kaki Guru!

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Di berbagai belahan dunia Islam, menghormati guru adalah adab yang sangat dijunjung tinggi. Bahkan, dalam tradisi pesantren di Indonesia, santri diajarkan untuk tak hanya menghormati dengan ucapan dan sikap, tapi juga dalam bentuk simbolis, seperti mencium tangan. Namun dalam beberapa kasus, tradisi ini berkembang menjadi tindakan mencium kaki guru atau kiai, yang kemudian menimbulkan perdebatan: apakah ini bagian dari adab, bentuk pengkultusan, atau bahkan eksploitasi atas nama agama?

Makna Menghormati Guru dalam Islam

Islam sangat menekankan pentingnya menghormati guru dan ulama. Rasulullah SAW bersabda:

“Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua, menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak para ulama.” (HR. Ahmad)

Dalam konteks ini, menghormati guru adalah bagian dari akhlak Islam. Tindakan seperti berdiri saat guru datang, berbicara sopan, dan mencium tangan sebagai bentuk takzim adalah hal yang umum di kalangan santri.

Namun, bagaimana jika penghormatan itu berubah menjadi tindakan seperti mencium kaki guru?

Cium Kaki: Adab Tinggi atau Pengkultusan?

Beberapa pesantren di Indonesia masih menerapkan tradisi santri mencium kaki kiai atau guru sebagai bentuk penghormatan ekstrem. Hal ini tidak hanya terjadi sekali-sekali, tetapi menjadi bagian dari rutinitas, terutama saat kiai keluar dari kediamannya, setelah mengajar, atau dalam momen-momen sakral seperti hari kelulusan.

Sebagian kalangan menganggap ini sebagai puncak adab dan tawadhu’. Namun tidak sedikit juga yang menilainya sebagai bentuk pengkultusan terhadap figur guru, yang berpotensi menumbuhkan sikap tak kritis, bahkan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan spiritual.

Pandangan Ulama: Boleh, Makruh, atau Dilarang?

Mayoritas ulama sepakat bahwa mencium tangan guru sebagai bentuk penghormatan dibolehkan, bahkan dianjurkan, selama tidak mengandung unsur pengagungan berlebihan (ghuluw).

Namun, ketika mencium kaki, maka para ulama berbeda pendapat:

  • Sebagian membolehkan, jika dilakukan sebagai bentuk adab, tanpa unsur penyembahan atau pemujaan.
  • Sebagian lain menganggap makruh atau bahkan terlarang, karena menyerupai perilaku yang mendekati penyembahan, sebagaimana yang dilakukan terhadap raja atau orang-orang suci dalam tradisi di luar Islam.

Syaikh Ibn Utsaimin, seorang ulama besar Saudi, menyatakan bahwa mencium kaki seseorang sebagai bentuk penghormatan tidak dianjurkan dalam Islam, dan lebih baik ditinggalkan untuk mencegah fitnah atau kekeliruan makna.

Kritik Sosial: Di Mana Batas Adab dan Eksploitasi?

Yang menjadi masalah bukan hanya tindakannya, tapi konteks dan sistemnya. Di beberapa pondok pesantren di Indonesia, praktik mencium kaki guru tidak dilakukan secara sukarela, melainkan karena tekanan lingkungan, ajaran, bahkan kewajiban tak tertulis.

Dalam kondisi ini, adab bisa berubah menjadi alat legitimasi kuasa, di mana guru atau kiai tak bisa dikritik, seakan tak mungkin salah, dan dijadikan pusat kebenaran mutlak. Ini bukan lagi adab, tapi kultus individu.

Lebih parah lagi, dalam sejumlah kasus, hubungan semacam ini membuka celah eksploitasi emosional dan spiritual, bahkan dalam beberapa kasus ekstrem, muncul kekerasan atau pelecehan yang sulit dibongkar karena ditutupi oleh “tameng kesucian” kiai

Adab yang Benar Menurut Islam: Hormat Tanpa Menyembah

Islam mengajarkan keseimbangan. Hormat kepada guru wajib, tapi pengkultusan dilarang keras. Allah SWT menekankan tauhid, dan semua manusia, termasuk guru, adalah makhluk yang bisa salah.

“Janganlah kamu memuji-muji seseorang secara berlebihan, karena sesungguhnya yang demikian itu dapat menjerumuskanmu pada kebinasaan.” (HR. Ahmad)

Santri boleh menghormati gurunya dengan tulus, bahkan mencium tangan sebagai bentuk tawadhu’. Tapi batasnya jelas: tidak menjadikan guru seperti nabi, wali yang tak bisa dikritik, apalagi mendekati bentuk penghambaan.

Menghormati guru adalah warisan agung dalam tradisi Islam dan pesantren. Namun ketika penghormatan itu melampaui batas, menghilangkan daya kritis, dan menjadi alat pembungkam, maka saat itulah kita harus bertanya: ini adab, atau pengkultusan?

Jika kita benar-benar cinta ilmu dan ulama, maka hormatilah mereka tanpa menjadikan mereka pusat kebenaran mutlak. Karena dalam Islam, kebenaran hanya milik Allah, dan ketaatan mutlak hanya kepada-Nya.

Share This Article