Antara Rantang Kosong dan Amanah Kekuasaan: Ketika Gizi Rakyat Hanya Jadi Angka di Atas Kertas

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan, bukan penguasa. Amanah bukan sekadar administrasi, tapi pertanggungjawaban langsung di hadapan Allah SWT. Maka saat rakyat kecil menerima bahan mentah alih-alih makanan bergizi siap santap, pertanyaannya bukan hanya siapa yang kirim beras, tapi siapa yang abai terhadap amanah?

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, membantah adanya kebijakan resmi penyaluran bahan mentah dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia menyebut kejadian di Tangerang Selatan sebagai ulah oknum, bukan kebijakan pusat. Namun, dalam pandangan Islam, tanggung jawab pemimpin tidak gugur hanya karena “itu bukan perintah resmi”. Setiap kelalaian terhadap hak rakyat adalah hisab yang nyata.

“Kalau nasi datang sendiri, siapa yang kirim rantang?” sindiran tajam dari anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R. Saputra, sejatinya adalah pertanyaan moral: mengapa program yang didesain untuk memberi gizi justru berujung pada ketidakpastian isi perut rakyat?

Pemimpin adalah Penjamin, Bukan Penonton

Islam menekankan tiga pilar utama dalam kekuasaan: al-‘adl (keadilan), al-amanah (kepercayaan), dan al-mas’uliyyah (pertanggungjawaban). Ketika program pemerintah tidak memberikan kepastian pelayanan seperti yang terjadi dalam MBG, maka itu bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kegagalan moral dan spiritual dari sebuah sistem.

Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Program MBG yang seharusnya menjadi bentuk perlindungan atas kebutuhan pokok rakyat malah jadi ladang ketidakjelasan. Jika rakyat diberi bahan mentah tanpa sarana mengolah, lalu di mana letak rahmah (kasih sayang) dalam kebijakan?

Kritik Islam terhadap Negara yang Mengutamakan Gengsi di Atas Rakyat

Partai X menyebutkan bahwa polemik ini bukan soal distribusi semata, tapi tentang sistem yang berjalan bukan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, melainkan dari pejabat, oleh prosedur, dan untuk pencitraan. Dalam Islam, ini disebut sebagai khiyanah fil amanah pengkhianatan atas amanah publik.

Negara adalah milik umat, bukan milik pejabat birokrat. Pemerintah hanyalah pengemudi bus bernama negara, bukan pemiliknya. Dan jika pengemudi lupa arah atau sengaja memutar jalur demi kepentingan pribadi, maka Islam menuntut koreksi: amar ma’ruf nahi munkar.

Solusi Islam: Kembalikan Kekuasaan sebagai Amal Shalih

Partai X menyerukan langkah korektif, dari musyawarah kenegarawanan, pembentukan Dewan Kedaulatan Rakyat Adhoc, hingga pendidikan melalui Sekolah Negarawan.

Sekolah Negarawan mencerminkan semangat tarbiyah siyasiyah (pendidikan politik) dalam Islam, bukan untuk melahirkan operator anggaran, tapi pemimpin berjiwa pelayan. Pemimpin yang tidak cukup puas laporan distribusi tercapai, tapi memastikan isi rantang sesuai hak umat.

Di Balik Rantang Itu Ada Amanah

Dalam Islam, setiap program publik adalah janji kepada Allah dan kepada rakyat. Dan janji, jika tidak ditepati, akan menjadi bahan penghakiman di hari akhir.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)

Jangan jadikan program bergizi hanya bergizi di atas kertas. Karena di balik statistik, ada perut anak-anak yang menunggu makan. Dan di balik itu semua, ada Tuhan yang akan bertanya, bukan tentang laporan, tapi tentang kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang kepada rakyat.

Share This Article