Waktunya Tandhang: Bangkit Menjemput Peradaban yang Hilang

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.idDi tengah zaman penuh hiruk-pikuk yang kehilangan nurani, tahun 2025 harus menjadi tahun tandhang bangkit dan bergerak untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran peradaban. Bukan semata gerakan politis, tetapi gerakan spiritual dan intelektual untuk menyusun kembali fondasi negeri ini, sebagaimana yang telah lama disuarakan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) melalui gagasan ketatanegaraan yang beliau sebut sebagai konstitusi langit.

Isyarat Sunyi yang Menghidupkan Gagasan

Pada 27 Mei 2023, dalam peringatan 70 tahun usia beliau, Cak Nun menyampaikan akan datang masa tergelap dalam hidupnya. Ucapan itu bukan isyarat tentang dirinya semata, tetapi tentang zaman. Kita telah sampai di fase kegelapan sosial, di mana negara kehilangan makna, kekuasaan kehilangan keberkahan, dan rakyat kehilangan arah.

Namun, sebagaimana kisah Nabi Nuh ‘alayhissalām yang membangun safīnah (bahtera) sebelum hujan turun, Cak Nun telah lebih dahulu membangun perahu gagasanyang tampak sunyi, tetapi sarat muatan nilai dan visi kenegaraan. Allah berfirman:

“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan jangan engkau berbicara kepada-Ku tentang orang-orang zalim. Sungguh, mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS Hūd: 37)

Perahu itu bukan kayu dan paku, melainkan struktur negara yang dibangun dari iman, akal, dan amanah.

Konstitusi Langit: Antara Wahyu dan Peradaban

Gagasan Cak Nun tentang ketatanegaraan bukan rekaan emosional. Ia adalah buah dari permenungan spiritual, studi sejarah, dan keterlibatan sosial puluhan tahun. Gagasannya menekankan bahwa kekuasaan sejati harus bersumber dari nilai transendental, bukan sekadar legitimasi prosedural.

Ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an dalam kepemimpinan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS An-Nisā’: 58)

Dan dalam hadits yang masyhur, Nabi ﷺ bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Gagasan “sedulur papat limo pancer” yang menjadi dasar visi kenegaraan Cak Nun, adalah metafor dari struktur fitrah manusia dan hubungan vertikal-horisontal yang seimbang antara Tuhan, diri, masyarakat, dan negara.

Tandhang: Memindahkan Gagasan ke Gerakan

Kini, tugas umat bukan lagi menunggu wahyu, tetapi menyambut isyarat dan menjemput perubahan. Tahun 2025 harus jadi momentum peralihan: dari mendengar menjadi bertindak, dari memahami menjadi merancang. Inilah waktu untuk tandhang sebagaimana para sahabat Nabi ﷺ yang dengan segera menjawab seruan risalah dengan jihad dan pembangunan masyarakat.

Gerakan ini bukan untuk meraih kekuasaan, melainkan mengembalikan makna kekuasaan itu sendiri. Sebab sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11)

Bangkit atau Tenggelam: Kita Menentukan

Kita tengah berada dalam fase ujian peradaban. Negara kehilangan keadilan, hukum dijadikan alat tawar-menawar, dan rakyat dipisahkan dari ruh kekuasaannya. Dalam situasi seperti ini, naik ke perahu gagasan bukan sekadar pilihan, tetapi satu-satunya cara untuk bertahan dari banjir sistemik yang kian naik.

Sebagaimana kaum Nabi Nuh yang tenggelam karena mengejek wahyu, bangsa yang menolak nilai akan tenggelam dalam kekacauan. Maka kita tak boleh menjadi generasi yang menunda. Kita harus menjadi:

  • Siddiq: jujur dalam menangkap kebenaran
  • Amanah: menjaga titipan sejarah
  • Tabligh: menyampaikan nilai ke masyarakat
  • Fathanah: cerdas dalam menyusun strategi perubahan

Penutup: Dari Langit Menuju Negeri

Gagasan Cak Nun bukan sekadar narasi, tapi cahaya dari langit yang butuh diletakkan ke bumi dalam bentuk sistem, struktur, dan undang-undang. Maka mari jadikan tahun 2025 sebagai tandhang agung—bangkit, bergerak, dan menyelamatkan Indonesia.

Bukan untuk kursi, tapi untuk generasi.
Tidak demi figur, tapi demi peradaban.
Bukan meniru Iran atau China, tapi membangun negeri yang berdaulat dengan nilai, bukan hanya prosedur.

“Sesungguhnya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiyā’: 105

Share This Article