muslimx.id – Dalam banyak perenungannya, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) menegaskan bahwa rakyat Indonesia telah sampai di titik nadir. Sistem kenegaraan berjalan tanpa jiwa, hukum menjadi labirin yang menyesatkan, dan lembaga negara kehilangan ruh pelayanan. “Kalau kehilangan kambing lalu menempuh jalur hukum, bisa-bisa kehilangan sapi, bisa terjadi perang,” ujar Cak Nun sindiran keras terhadap keadilan prosedural yang penuh jebakan sistemik.
Negara, dalam makna hakiki, bahkan belum terbentuk. Yang ada hanyalah panggung simbolik kekuasaan yang tak pernah menempatkan rakyat sebagai subjek. Di tengah tatanan ini, rakyat lebih mirip “penduduk” bukan “ra’iyah” dalam bahasa Islam yang berarti pemilik sah kedaulatan. Cak Nun menyebut, saat ini kita hidup dalam “kerajaan Indonesia,” bukan republik rakyat.
Hidup adalah Perang: Spirit Perjuangan dalam Islam
Cak Nun mengingatkan: hidup adalah medan perang. Bukan sekadar perang fisik, tetapi perang spiritual dan sosial melawan sistem yang menindas, kekuasaan yang dzalim, dan mentalitas yang pasrah terhadap ketidakadilan.
Al-Qur’an sendiri menyatakan:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu kamu benci. Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu…” (QS Al-Baqarah: 216)
Perang dalam konteks ini bukan hanya mengangkat senjata, melainkan melawan sistem bobrok, oligarki kekuasaan, penjajahan ekonomi, hingga egoisme pejabat yang merampas hak rakyat.
KH Hasyim Asy’ari: Haji Bisa Ditunda, Perang Tidak!
Pada tahun 1947, saat Belanda melancarkan agresi militer ke Indonesia, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa besar: “Haram hukumnya pergi haji saat tanah air dijajah.” Saat itu, Belanda mencoba melemahkan semangat jihad dengan menawarkan fasilitas haji. Tapi KH Hasyim memilih mengutamakan jihad membela tanah air daripada ibadah individual.
“Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” (Hadits Mauquf, banyak dijadikan dasar nasionalisme religius dalam Islam)
Fatwa ini bukan hanya tentang keberanian, tapi tentang skala prioritas dalam ibadah dan perjuangan. Dalam kondisi bangsa terjajah, jihad kolektif lebih utama daripada ritual individual.
Cak Nun dan Konstitusi Langit: Jalan Perang Spiritual
Melanjutkan semangat KH Hasyim, Cak Nun menawarkan jalan baru: Konstitusi Langit. Sebuah gagasan ketatanegaraan yang tidak hanya legal secara prosedural, tapi berbasis nilai ilahiyah keadilan, keberpihakan, dan spiritualitas.
Negara tidak bisa terus dipoles kosmetik legal formal, tetapi harus dibangun ulang sebagai struktur ruhani. Cak Nun mengajak rakyat menjadi pelaku utama dalam pertempuran ini: bukan memanggul senjata, tapi membawa cahaya nilai ke dalam sistem yang gelap.
Seperti Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala sistem, seperti Nabi Musa yang menentang Fir’aun, seperti Nabi Muhammad yang memulai revolusi akhlak di tengah masyarakat jahiliyah perjuangan rakyat hari ini pun adalah jihad konstitusional.
Seruan Final: Mari Perang, Demi Keadilan
Cak Nun berkata: jika aparat, dan lembaga negara sudah tak bisa diharapkan, rakyat harus mengambil alih perannya sebagai “ra’iyah” pemilik kedaulatan sejati.
Kita tak sedang diminta memusuhi pemimpin, tapi melawan sistem yang membuat pemimpin buta dan tuli. Perang yang dimaksud bukan berdarah-darah, tapi:
- Melawan ketakutan, pasrah, dan kebodohan.
- Melawan sistem hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
- Melawan demokrasi yang dikendalikan oleh modal, bukan nurani.
Penutup: Bangkitlah, Karena Diam Adalah Kekalahan
Jika KH Hasyim bisa menunda haji demi jihad, maka kita pun harus menunda “kenyamanan” demi menegakkan keadilan. Tidak cukup hanya dengan khutbah, seminar, atau doa-doa panjang. Harus ada gerak.
Konstitusi Langit yang ditawarkan Cak Nun bukan utopia. Ia adalah seruan langit untuk perubahan di bumi. Maka, mari perang. Dengan cinta, dengan ilmu, dan dengan keberanian.”Dan katakanlah: Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.” (QS Al-Isra: 81)