muslimx.id – Kata kerukunan sering terdengar indah, tapi dalam realitas sosial, ia kadang berhenti pada tataran slogan. Padahal, dalam perspektif Islam, kerukunan bukanlah pilihan tambahan melainkan sebuah kewajiban syar’i dan strategi hidup yang menentukan arah kemajuan umat dan bangsa.
Kerukunan sebagai Perintah Ilahi
Al-Qur’an dalam Surah Al-Ḥujurāt ayat 10 menegaskan:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
Ayat ini tidak memberi ruang untuk kompromi: persaudaraan adalah identitas, dan menjaga kedamaian adalah perintah. Kerukunan bukan sekadar “hidup berdampingan tanpa ribut”, melainkan keterlibatan aktif untuk menguatkan satu sama lain, seperti yang diibaratkan Rasulullah SAW dalam haditsnya:
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengapa Kerukunan Sering Macet di Lapangan?
Fakta di lapangan menunjukkan, kerukunan sering kali retak bukan karena perbedaan besar, tapi karena ego kecil yang dibesarkan. Isu pemerintahan, fanatisme kelompok, atau sekadar persaingan ekonomi dapat mengikis rasa saling percaya. Ironisnya, banyak pihak yang di mulut menyerukan persatuan, tapi di perilaku justru memecah belah.
Di sinilah khutbah Jumat mengingatkan, bahwa kerukunan yang tidak diiringi kerja sama nyata hanyalah retorika kosong. Islam menuntut keterlibatan aktif dan saling membantu dalam kebaikan (QS. Al-Mā’idah: 2) dan menahan diri dari tindakan yang menimbulkan permusuhan.
Belajar dari Ulama dan Tokoh Bangsa
Sejarah Indonesia mencatat, para ulama dan tokoh kemerdekaan menunjukkan teladan luar biasa. KH Wahid Hasyim, KH Agus Salim, Bung Karno, dan Bung Hatta mampu bekerja bersama meski berbeda latar belakang ideologi dan agama. Mereka paham bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih jika perbedaan dikelola sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā ‘Ulūmiddīn bahkan menggarisbawahi:
“Urusan dunia tidak akan tegak kecuali dengan kerja sama, saling mendukung, dan meninggalkan pertengkaran.”
Pesan ini relevan hingga kini, di tengah tantangan global yang menuntut kolaborasi lintas sektor, lintas golongan, dan lintas batas.
Kerja sama dalam konteks bangsa tidak hanya berarti gotong royong di lingkungan RT atau acara keagamaan. Ia juga mencakup kesediaan untuk menghormati hukum, mendukung kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan membangun ekonomi yang inklusif. Kerukunan yang dibarengi kerja sama produktif akan melahirkan stabilitas sosial modal utama bagi kemajuan negara.
Kerukunan sejati berarti kita tidak hanya menahan diri dari konflik, tetapi juga aktif menciptakan ruang dialog, mengupayakan keadilan, dan menolong yang lemah.
Penutup: Doa dan Harapan
Khutbah Jumat ini mengajak umat untuk memandang kerukunan sebagai sebuah amalan yang konkret, bukan sekadar slogan manis di baliho atau sambutan resmi. Kerukunan adalah ibadah sosial yang memerlukan pengorbanan, pengendalian diri, dan komitmen kolektif.
Jika umat Islam mampu menjadikan kerukunan sebagai budaya dan kerja sama sebagai rutinitas, maka bangsa ini tidak hanya akan kuat menghadapi perpecahan, tetapi juga akan melesat menuju kemajuan. Sebab benar kata pepatah, bersatu kita kuat, berpecah kita runtuh.
Allāhumma waffiq wulātanā wa umarā’anā limā tuḥibbu wa tardhā, waj‘al baladanā hādzā baladan āminan wa sā’ir bilādil-muslimīn.
Ya Allah, bimbinglah para pemimpin kami ke jalan yang Engkau cintai dan ridai, jadikan negeri kami negeri yang aman dan damai, begitu pula negeri-negeri kaum Muslimin.