muslimx.id — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa transaksi QRIS kini telah menyalip penggunaan kartu kredit di Indonesia. Ia menyebut terdapat 56 juta pengguna aktif, menandakan kepercayaan publik terhadap sistem pembayaran digital semakin tinggi. Bahkan, Indonesia telah bekerja sama dengan sejumlah negara seperti Jepang dan Korea Selatan melalui Local Currency Transaction (LCT).
Namun, dibalik narasi keberhasilan itu, muncul keluhan dari masyarakat dan pelaku UMKM. Biaya transaksi yang dianggap tinggi, keterbatasan akses internet di daerah, hingga ketimpangan literasi digital menjadi masalah nyata. Kemajuan teknologi finansial belum tentu berarti kemajuan kesejahteraan.
Islam Ingatkan: Keadilan Ekonomi Lebih Mulia daripada Laju Inovasi
Dalam Islam, kemajuan bukan sekadar soal efisiensi, tetapi keadilan dalam manfaat. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan Kami telah menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan rasul-rasul-Nya dengan tidak melihat-Nya.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap kemajuan teknologi baik besi pada masa lalu maupun digitalisasi pada masa kini harus memberi manfaat bagi umat, bukan menambah beban mereka. Jika inovasi justru membuat rakyat kecil semakin terhimpit, maka itu bukan kemajuan, melainkan ketimpangan baru yang terselubung dalam kemasan modernitas.
Negara memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan biaya transaksi tidak mencekik pelaku kecil. Sebab Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Barang siapa memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Maka, digitalisasi yang benar bukan sekadar cepat dan efisien, tetapi memudahkan, memberdayakan, dan menyamakan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Partai X: Ketika QRIS Menjadi Simbol Ketimpangan Baru
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute Prayogi R. Saputra menilai, kemajuan teknologi keuangan seharusnya tidak menambah beban rakyat. Menurutnya, negara tidak cukup hanya bangga dengan pertumbuhan digital, tetapi juga harus memastikan keadilan ekonomi.
“Tugas negara itu tiga loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi kalau QRIS bikin biaya transaksi naik, rakyat yang kecil makin terjepit,” kata Prayogi.
Ia menegaskan, digitalisasi keuangan harus berpihak pada pelaku usaha mikro dan kecil (UMKM). Tanpa kontrol, kemajuan QRIS bisa menjadi ladang keuntungan bagi korporasi, sementara pedagang kecil terdesak oleh biaya sistem pembayaran.
Solusi: Digitalisasi Berkeadilan dan Berkeadaban
Dalam konteks ajaran Islam, ada tiga langkah moral yang sejalan dengan semangat islah (perbaikan sosial):
- Menetapkan regulasi yang adil. Biaya transaksi digital harus diatur agar tidak menindak pelaku UMKM.
- Memperluas akses digital untuk daerah tertinggal. Pemerataan jaringan dan edukasi literasi digital adalah bentuk nyata keadilan.
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas. Keuntungan lembaga keuangan digital harus dapat diaudit agar tidak terjadi monopoli terselubung.
Penutup: Islam Mengingatkan, Teknologi Harus Memanusiakan
Islam tidak menolak kemajuan, tetapi mengingatkan agar teknologi tidak menghapus nilai-nilai kemanusiaan. Digitalisasi ekonomi harus menghadirkan keberkahan, bukan kegelisahan.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Kemajuan QRIS dan sistem digital akan bernilai tinggi jika mengangkat derajat rakyat kecil, bukan menjadikan mereka korban algoritma ekonomi. Sebab dalam pandangan Islam, kesejahteraan bukan diukur dari grafik pertumbuhan, tetapi dari berapa banyak manusia yang merasakan keadilan.