KSPI Tuntut Upah Naik, Islam Ingatkan: Upah Buruh Adalah Hak, Bukan Kebaikan Negara

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id  — Desakan kenaikan upah minimum sebesar 8,5–10,5 persen kembali menggema dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh. Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa tuntutan itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2024.

“Formulanya hanya satu, berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Tidak ada formula lain,” ujar Said Iqbal di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Iqbal juga menuding Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, telah menyimpang dari dasar hukum karena mengusulkan rumus baru di luar putusan MK.

“Ngawur! Tidak ada formula lain selain keputusan MK Nomor 168 Tahun 2024, titik,” tegasnya.

Partai X: Negara Wajib Melindungi, Bukan Menindas Buruh

Menanggapi KSPI menuntut upah buruh, Partai X menegaskan bahwa negara tidak boleh berpihak pada segelintir pejabat ekonomi atau pemilik modal.

Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menyampaikan:

“Tugas negara itu tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi kalau negara malah menindas pekerjanya, maka negara kehilangan moralnya.”

Menurutnya, kebijakan upah tidak boleh dikendalikan investor, sebab pekerja adalah jantung ekonomi bangsa.

“Kalau jantung ditekan, seluruh tubuh ekonomi akan lumpuh,” tambahnya.

Partai X menilai pernyataan Luhut yang meminta Presiden agar tidak “disetir organisasi buruh” adalah bentuk arogansi kekuasaan yang menafikan nilai kemanusiaan ekonomi.

“Negara ini bukan milik investor, tapi milik rakyat pekerja. Upah layak itu hak, bukan hadiah,” ujar Prayogi dengan tegas.

Pandangan Islam: Bayarlah Upah Sebelum Keringat Kering

Islam menempatkan pekerja dan buruh dalam posisi mulia. Upah yang layak bukan hanya hak ekonomi, tapi kewajiban moral dan syariat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)

Ayat Al-Qur’an pun menegaskan:

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.” (QS. Asy-Syu’ara: 183)

Islam menolak setiap bentuk penindasan terhadap tenaga kerja. Negara wajib menjamin keadilan upah sebagai bentuk maslahah ‘ammah kemaslahatan publik.

Dalam konteks modern, ini berarti negara harus menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Jika keuntungan hanya dinikmati penguasa dan investor, maka itu bentuk dzulm kezaliman ekonomi.

“Celakalah orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, tetapi apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1–3)

Ayat ini mengingatkan bahwa ketimpangan upah adalah bentuk kecurangan sosial yang mencederai nilai keadilan yang dijunjung Islam.

Solusi Partai X: Negara Harus Hadir, Ekonomi Harus Manusiawi

Sebagai jalan keluar, Partai X mengusulkan langkah konkret:

  1. Tegakkan Putusan MK. Pemerintah wajib menjalankan rumus upah sesuai konstitusi tanpa tekanan dari kelompok modal.
  2. Upah Berbasis Data Riil. Kebijakan harus disusun berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang transparan.
  3. Bentuk Dewan Keadilan Upah Nasional. Lembaga independen beranggotakan wakil buruh, akademisi, dan tokoh publik untuk mengawasi kebijakan upah.
  4. Dorong Kemandirian Ekonomi Rakyat. Industri nasional harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja layak, bukan sekadar angka investasi.

Penutup: Islam Ingatkan, Keadilan Upah Adalah Cermin Iman Negara

Keadilan upah bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi cerminan moral pemerintahan. Negara yang mensejahterakan buruh sejatinya sedang menegakkan iman sosial.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Maka Islam mengingatkan: Jika negara membiarkan pekerjanya hidup miskin di negeri kaya, maka itu bukan kekurangan anggaran, tapi kekeringan nurani. Negara yang adil bukan yang menaikkan angka pertumbuhan, tapi yang meninggikan martabat rakyatnya.

Negara tidak boleh jadi wasit yang menonton, tapi harus turun sebagai pelindung buruh. Bila rakyat masih miskin di tengah pertumbuhan ekonomi, berarti hukum keadilan sosial belum ditegakkan.

Share This Article