muslimx.id – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan strategi pemerintah dalam mengurangi beban utang negara. Ia menekankan efisiensi anggaran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai kunci utama stabilitas fiskal. Per Juni 2025, total utang pemerintah mencapai Rp9.138 triliun, atau 39,86 persen terhadap PDB.
“Anggaran harus dibelanjakan tepat sasaran, tepat waktu, tanpa kebocoran,” ujar Purbaya. Ia optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik akan meningkatkan penerimaan pajak dan menekan defisit.
Namun, sebagian kalangan menilai bahwa pengelolaan utang negara tak cukup hanya diukur dari angka. Rakyat ingin tahu: apa dampak nyata dari pelunasan utang terhadap kesejahteraan mereka?
Partai X: Rakyat Tak Butuh Angka, Tapi Kejelasan Dampak
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa rakyat tidak cukup diberi kabar bahwa “utang berkurang.”
“Tugas negara itu tiga yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Maka setiap kebijakan fiskal harus berdampak langsung pada kesejahteraan, bukan sekadar menenangkan pasar,” ujarnya.
Rinto juga menyoroti pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam pengawasan anggaran. Rakyat berhak tahu bagaimana setiap rupiah uang negara digunakan. Efisiensi tanpa keterbukaan hanya akan menumbuhkan ketidakpercayaan.
Pandangan Islam: Utang Itu Amanah, Bukan Sekadar Neraca
Dalam pandangan Islam, utang bukan hanya urusan finansial, tapi juga moral dan amanah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa mati dalam keadaan masih berhutang satu dinar atau dirham, maka ia tidak akan diampuni sebelum melunasinya.” (HR. Ahmad)
Islam menekankan bahwa pengelolaan utang harus disertai niat yang tulus dan tata kelola yang jujur, bukan sekadar menjaga citra ekonomi. Allah SWT berfirman:
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-An’am: 152)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap bentuk tanggung jawab ekonomi, termasuk utang negara, harus dijalankan secara adil dan proporsional, tanpa mengorbankan hak rakyat.
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan dalam hadis lain:
“Tidak akan masuk surga orang yang mengkhianati amanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, mengelola utang publik tanpa transparansi berarti mengkhianati kepercayaan rakyat yang menjadi pemilik sejati kekayaan negara.
Solusi Islam: Keuangan Negara Harus Berbasis Amanah dan Keadilan
Islam mengajarkan agar pengelolaan keuangan publik tidak hanya berbasis angka, tapi berbasis nilai. Beberapa prinsip yang dapat diterapkan antara lain:
- Keadilan Fiskal.
 Kebijakan pajak dan utang harus berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan pada korporasi besar atau elite ekonomi.
- Transparansi Publik.
 Negara wajib membuka akses informasi tentang anggaran, utang, dan penggunaannya. Dalam sistem Islam klasik, dikenal lembaga baitul mal yang diawasi oleh masyarakat dan ulama.
- Efisiensi Berbasis Amanah.
 Efisiensi bukan sekadar menghemat, tapi memastikan tidak ada kebocoran, korupsi, atau pemborosan seremonial.
- Partisipasi Sosial.
 Dalam Islam, pengawasan publik adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar mengingatkan penguasa agar tidak lalai terhadap hak rakyat.
Penutup: Islam Menyeru pada Kejujuran dalam Mengelola Harta Umat
Islam memandang utang negara sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurunkan utang negara memang prestasi, tapi tanpa keadilan dan keterbukaan, prestasi itu kehilangan rohnya.
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuapkannya kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Rakyat berhak tahu ke mana arah uang mereka dibelanjakan, dan pemerintah wajib menjaga kepercayaan itu. Utang boleh dibayar, tapi kejujuran dan amanah adalah hutang moral yang tak boleh diabaikan.
 
					
 
			 
                                
                              
		 
		 
		