muslimx.id – Setiap tahun pemerintah meluncurkan program pengentasan kemiskinan. Anggaran triliunan digelontorkan, berbagai deklarasi digemakan, dan strategi nasional diumumkan. Namun kenyataan berbicara lain: kemiskinan tidak benar-benar hilang. Ia hanya bergeser bentuk, bergeser wilayah, bahkan dalam beberapa periode justru meningkat.
Pertanyaannya bukan lagi berapa banyak program dibuat, tetapi mengapa program-program itu tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan? Jawabannya kembali pada satu hal yang paling mendasar: amanah kekuasaan yang tidak dijalankan sesuai prinsip negara dan prinsip syariat.
Tiga Tugas Negara Wajib Selaras dengan Prinsip Islam
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan kembali tiga tugas negara: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kegagalan dalam menjalankan tiga tugas ini membuat kemiskinan terus bertahan.
“Jika rakyat masih miskin, artinya negara belum mengatur dengan benar. Sebab tugas negara bukan membuat program, tetapi memastikan rakyat terlindungi dan sejahtera.”
Dalam Islam, fungsi negara selaras dengan fungsi imam/pemimpin sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, ketika rakyat tetap miskin, beban tanggung jawab itu pertama kali kembali kepada negara, bukan kepada rakyat yang menjadi korban sistem.
Mengapa Kemiskinan Tidak Pernah Selesai?
Sebagian besar program pengentasan kemiskinan bersifat seperti perban: menutup luka, bukan menyembuhkan sumbernya.
Padahal akar kemiskinan dalam sudut pandang Islam maupun ekonomi nasional terletak pada: ketimpangan akses ekonomi, distribusi kekayaan yang tidak adil, tata kelola negara yang lemah, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak, dominasi oligarki ekonomi terhadap sumber daya rakyat.
Al-Qur’an mengingatkan:
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ketika struktur ekonomi menguntungkan segelintir kelompok dan melemahkan rakyat banyak, maka itu bertentangan dengan prinsip distribusi dalam Islam.
Kesalahan Paradigma Negara: Rakyat Diposisikan Sebagai Penerima, Bukan Penggerak
Prinsip Partai X menyatakan bahwa negara adalah seluruh rakyat, sementara pemerintah hanyalah alat rakyat.
Namun ketika pejabat merasa dirinya adalah “negara”, arah kebijakan berubah:
yang diperbesar adalah kekuasaan, bukan kekuatan rakyat.
Padahal dalam Islam, kekuasaan bukan hak istimewa, melainkan amanah yang akan dihisab secara keras. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari)
Kemiskinan terus berlangsung karena rakyat diperlakukan sebagai objek bantuan, bukan subjek ekonomi yang harus diberdayakan. Ketika rakyat hanya diberikan bantuan, bukan akses, maka ia akan selamanya bergantung dan struktur ekonomi tetap dikuasai kelompok kuat.
Perspektif Islam: Kemiskinan Adalah Masalah Moral Sebelum Ekonomi
Islam memandang kemiskinan bukan sekadar problem angka, tetapi problem moral dan keadilan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Nahl: 90)
Selama kebijakan tidak lahir dari keberanian moral untuk menegakkan keadilan sosial, kemiskinan akan diwariskan lintas generasi.
Kemiskinan hanya dapat diakhiri bila negara bekerja sesuai prinsip dasar negara dan prinsip syariat: Negara adalah rakyat, bukan pejabat. (Selaras dengan konsep syûrâ dan maslahah ‘ammah). Kedaulatan rakyat adalah dasar kebijakan ekonomi.
Pemerintah wajib melayani, bukan menguasai. (Selaras dengan hadis imam sebagai pelayan rakyat). Pancasila harus menjadi sistem kerja negara, bukan slogan. Keadilan sosial wajib ditegakkan. (Sejalan dengan perintah Al-Qur’an tentang keadilan dan distribusi kekayaan)
Islam menegaskan bahwa kemiskinan yang bersumber dari ketidakadilan adalah dosa struktural, bukan sekadar persoalan ketidaksanggupan individu.
Solusi Partai X (Diperkuat dengan Etika Ekonomi Islam)
Berikut rangkaian solusi sistemik yang dipadukan dengan nilai syariat:
- Amandemen Kelima UUD 1945
Mengembalikan ketatanegaraan kepada prinsip rakyat sebagai pemilik negara sejalan dengan konsep Islam bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik. - Pembentukan MPRS Sementara
Menjadi penjaga arah reformasi agar tidak dikuasai kepentingan penguasa. Dalam Islam, lembaga pengawas kekuasaan adalah bagian dari hisbah. - Meluruskan Paradigma Negara vs Pemerintah
Memastikan pejabat menjadi khâdim al-ummah (pelayan umat), bukan penguasa umat. - Kebijakan Ekonomi Berbasis Keadilan Moral
Setiap kebijakan harus diuji pertanyaan syariat: Apakah ini menolong rakyat banyak atau menguntungkan segelintir orang? Ini sejalan dengan prinsip maqâshid al-syarî’ah: menjaga harta, jiwa, dan keadilan. - Penguatan Ekonomi Rakyat Secara Struktural
Termasuk: penguatan UMKM, distribusi pasar yang adil, kedaulatan pangan, industrialisasi berbasis rakyat, digitalisasi akses ekonomi. Ini sejalan dengan distribusi rezeki dan pemberdayaan mustadh’afin dalam Islam. - Transparansi Anggaran & Partisipasi Publik
Rasulullah ﷺ mengajarkan pemerintahan yang transparan. Kecurangan dalam pengelolaan anggaran (ghulul) adalah dosa besar. Transparansi membuat kebijakan lebih efektif dan tepat sasaran.
Penutup: Kemiskinan Hanya Akan Berakhir Bila Negara Menjalankan Amanahnya
Kemiskinan bukan sekadar kurangnya program, tetapi gagalnya sistem negara menjalankan fungsi sebagaimana ajaran Islam dan prinsip Pancasila: melindungi, melayani, dan mengatur dengan keadilan.
Partai X menegaskan bahwa kemiskinan hanya dapat diakhiri secara permanen bila negara kembali pada prinsip: keadilan, keberpihakan pada rakyat, moralitas kebijakan, dan amanah kekuasaan.
Tanpa itu, program hanya menjadi rutinitas, sementara kemiskinan terus beranak pinak.