muslimx.id– Di banyak ruang obrolan umat Islam, sering terdengar keluhan yang berulang: “Mengapa pemerintahan selalu diisi orang-orang yang tidak amanah?” Namun pertanyaan itu jarang diikuti dengan kejujuran bercermin. Fenomena ini bukan sekadar soal kalah strategi atau minim dukungan. Lebih dalam dari itu, ia berakar pada kesalahan memahami zuhud, serta anggapan bahwa menjaga kesucian iman harus dibayar dengan menjauhi urusan negara. Padahal, sejarah Islam justru memperlihatkan sebaliknya: orang-orang paling bertakwa tidak lari dari tanggung jawab publik, mereka justru maju ketika amanah memanggil.
Sebab, di balik wajah pemerintahan yang kusam, ada ironi yang tak kalah pahit: orang-orang saleh justru memilih menjauh, sementara ruang kekuasaan dibiarkan kosong dari tangan-tangan yang takut kepada Allah.
Zuhud yang Disalahpahami
Zuhud sering dimaknai secara sempit sebagai menjauh dari dunia, termasuk dunia politik. Kekuasaan dipandang sebagai lumpur yang pasti mengotori, jabatan dianggap pintu fitnah yang lebih baik dihindari. Akibatnya, banyak orang baik merasa cukup berdakwah di mimbar, mengajar di majelis, atau berbuat kebaikan secara personal tanpa mau menyentuh wilayah kebijakan publik.
Padahal, zuhud dalam pengertian para ulama bukanlah meninggalkan dunia, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Umar bin Khattab RA adalah sosok zuhud, tetapi ia memimpin wilayah yang sangat luas. Yusuf AS adalah hamba Allah yang saleh, tetapi ia mengelola logistik dan ekonomi negara. Kekuasaan tidak merusak mereka, justru imanlah yang mengendalikan kekuasaan.
Ketika zuhud dipahami sebagai pelarian, bukan pengendalian, maka umat kehilangan kader pemimpin. Kekuasaan pun jatuh ke tangan mereka yang tidak merasa diawasi Allah.
Partai X: Politik yang Ditinggal Orang Baik
Rinto Setiyawan, anggota Majelis Tinggi Partai X,, menyebut fenomena ini sebagai kekosongan moral di pusat kekuasaan.
“Politik hari ini bukan kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang yang takut kepada Tuhan. Ironisnya, banyak orang beriman justru merasa bukan ladang ibadah, padahal di sanalah keputusan hidup jutaan orang ditentukan,” ujarnya.
Menurut Rinto, ketika orang-orang saleh memilih berada di luar sistem, mereka sebenarnya sedang menyerahkan kebijakan publik kepada pihak yang paling siap secara teknis, bukan paling layak secara moral. Akibatnya, hukum bisa tajam ke bawah, kebijakan condong ke elite, dan kesejahteraan menjadi jargon tanpa ruh.
Pandangan ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa kebijakan pemimpin harus selalu terkait kemaslahatan. Tanpa kehadiran orang-orang yang memiliki kesadaran akhirat, kekuasaan mudah tergelincir menjadi alat kepentingan.
Kesalehan yang Terlalu Privat
Masalah lain yang tak kalah serius adalah reduksi makna kesalehan. Kesalehan sering dipersempit pada ritual individual: shalat tepat waktu, puasa sunnah, zikir panjang. Semua itu mulia, tetapi Islam tidak berhenti di sana. Ada kesalehan sosial yang menuntut keberanian masuk ke ruang konflik, ruang kebijakan, dan ruang kekuasaan.
Rasulullah SAW tidak hanya mengajarkan akhlak personal, tetapi juga membangun tatanan masyarakat. Beliau memimpin negara, menyusun perjanjian, mengatur pasar, dan menegakkan hukum. Jika pemerintahan sepenuhnya dijauhi oleh orang saleh, maka yang tersisa hanyalah agama yang kehilangan pengaruh sosialnya.
Dalam konteks ini, kekalahan orang saleh di pemerintahan bukan karena mereka lemah, melainkan karena mereka tidak hadir sejak awal. Mereka datang saat kerusakan sudah parah, lalu mengeluh mengapa sistem tidak ramah pada nilai-nilai Islam.
Penutup: Saatnya Orang Baik Berhenti Menjadi Penonton
Kekuasaan dalam Islam bukan simbol kemuliaan, melainkan ujian yang berat. Ia akan dipertanggungjawabkan satu per satu. Kesadaran inilah yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang saleh ketika mendekati kekuasaan: bukan untuk mencari kehormatan, tetapi untuk menunaikan amanah.
Ketika pemerintahan diisi oleh mereka yang mengejar dunia, sementara orang-orang beriman sibuk menjaga jarak, maka hasilnya bisa ditebak: ketimpangan, ketidakadilan, dan hilangnya keberpihakan pada yang lemah.
Orang saleh sering kalah di pemerintahan bukan karena Islam lemah, tetapi karena umat salah membaca panggilan zaman.
Jika umat terus membiarkan kekuasaan berjalan tanpa ruh ketakwaan, maka jangan heran jika keadilan terasa jauh. Sudah saatnya orang-orang baik berhenti hanya menjadi pengamat moral, dan mulai menjadi pelaku amanah bukan demi kekuasaan, tetapi demi tanggung jawab di hadapan Allah.