muslimx.id — Pembahasan revisi RUU Penyiaran kembali menuai kritik luas dari kalangan jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil. Salah satu poin paling kontroversial adalah ketentuan yang berpotensi membatasi bahkan melarang praktik jurnalisme investigatif dalam tayangan penyiaran.
Di tengah berbagai skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang justru terbongkar melalui kerja investigasi media, wacana ini dipandang sebagai kemunduran serius bagi demokrasi dan keterbukaan publik.
Draf RUU Penyiaran memuat pasal-pasal yang dinilai multitafsir dan rawan digunakan untuk mengkriminalisasi liputan investigatif, khususnya ketika menyentuh kepentingan pejabat atau institusi negara. Alasan yang kerap dikemukakan adalah menjaga “etika”, “ketertiban”, dan “stabilitas”.
Namun bagi banyak pihak, istilah-istilah tersebut terlalu lentur dan berisiko menjadi dalih pembungkaman kritik.
Ketika Kritik Dipandang Sebagai Ancaman
Pembatasan investigasi menunjukkan kecenderungan melihat kritik sebagai gangguan, bukan sebagai mekanisme koreksi. Alih-alih memperbaiki tata kelola dan transparansi, regulasi justru diarahkan untuk mengendalikan narasi dan membatasi pengungkapan fakta.
Jika kecenderungan ini dibiarkan, fungsi media akan bergeser dari pengawas kekuasaan menjadi sekadar penyampai informasi resmi.
Dalam jangka panjang, kondisi tersebut menciptakan demokrasi yang rapuh: prosedural secara formal, tetapi miskin substansi karena publik tidak memiliki akses pada informasi yang utuh dan independen.
Islam Mengingatkan: Menyembunyikan Kebenaran Adalah Pengkhianatan Amanah
Dalam perspektif Islam, kebenaran adalah nilai fundamental yang tidak boleh disembunyikan, apalagi demi melindungi kekuasaan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
Ayat ini menegaskan bahwa menyembunyikan fakta dan menutup akses pada kebenaran adalah bentuk pengkhianatan moral. Dalam konteks kebijakan publik, pembatasan jurnalisme investigatif berpotensi menjauhkan negara dari prinsip keadilan dan kejujuran yang diajarkan Islam.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran dihadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menempatkan penyampaian kebenaran sebagai amal mulia, bukan sebagai ancaman. Maka, kerja jurnalistik yang mengungkap fakta dan menyuarakan kepentingan publik sejatinya sejalan dengan nilai amar ma’ruf nahi munkar.
Solusi: Melindungi Investigasi, Menjaga Amanah Publik
Untuk menjaga kebebasan pers sekaligus memperkuat demokrasi, beberapa langkah perlu ditempuh:
- Menghapus pasal-pasal RUU Penyiaran yang berpotensi membatasi jurnalisme investigatif
Regulasi tidak boleh menjadi alat pembungkaman kebenaran. - Menjamin kebebasan pers sesuai konstitusi dan UU Pers
Penyiaran harus tunduk pada prinsip demokrasi dan keterbukaan. - Melibatkan jurnalis dan masyarakat sipil dalam pembahasan RUU
Aturan tentang media tidak boleh dibuat tanpa partisipasi media. - Memperkuat mekanisme etik dan koreksi publik, bukan pelarangan
Kesalahan jurnalistik diperbaiki dengan akuntabilitas, bukan sensor. - Menegaskan media sebagai pilar demokrasi, bukan ancaman stabilitas
Transparansi adalah fondasi kepercayaan publik.
Penutup: Kebenaran Tidak Pernah Menjadi Musuh Negara
Larangan investigasi dalam RUU Penyiaran bukan semata persoalan teknis media, melainkan persoalan amanah kekuasaan dan masa depan demokrasi. Negara yang percaya diri dengan tata kelolanya tidak akan takut pada liputan investigatif.
Islam mengingatkan bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang segala nikmat yang kamu peroleh.” (QS. At-Takatsur: 8)
Semoga para pembuat kebijakan menyadari bahwa membiarkan cahaya kebenaran tetap menyala jauh lebih menentramkan daripada menerapkannya. Sebab ketika kebenaran dibungkam, yang tumbuh bukan ketertiban, melainkan kegelapan yang melindungi penyalahgunaan kekuasaan.