muslimx.id — Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kebijakan tambang Indonesia dinilai semakin berpihak pada kepentingan pengusaha tambang melalui perpanjangan izin, kemudahan konsesi, dan pelonggaran regulasi, sementara rakyat dan lingkungan justru dirugikan.
Di tengah meningkatnya krisis ekologis seperti banjir, longsor, dan krisis air, izin pertambangan terus bertambah, termasuk di kawasan hutan dan wilayah tangkapan air. Berbagai kasus menunjukkan kaitan erat antara aktivitas tambang dan bencana ekologis, tetapi hal ini jarang menjadi dasar evaluasi kebijakan.
Negara cenderung berperan sebagai fasilitator bisnis tambang alih-alih pelindung rakyat, dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Dampak kerusakan ekologis dan sosial ditanggung masyarakat, sementara keuntungan terkonsentrasi pada segelintir pihak, sehingga negara dinilai gagal menjalankan mandat konstitusional dan beresiko kehilangan legitimasi moral.
Islam Menegaskan: Kekuasaan adalah Amanah, Bukan Alat Eksploitasi
Dalam Islam, kekuasaan dan pengelolaan sumber daya alam adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Negara tidak dibenarkan mengelola kekayaan alam dengan cara yang menzalimi rakyat dan merusak ciptaan Allah.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan keadilan, bukan keberpihakan pada pemilik modal. Kebijakan yang merugikan rakyat demi kepentingan segelintir pengusaha adalah bentuk pengkhianatan amanah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara, sebagai pemimpin tertinggi dalam pengelolaan sumber daya, akan dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat akibat kebijakan yang salah arah.
Solusi: Mengembalikan Negara ke Jalur Konstitusi dan Moral
Untuk menghentikan penyimpangan kebijakan pertambangan, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan utama kebijakan tambang
Bukan sekadar slogan, tetapi dasar operasional pengambilan keputusan. - Evaluasi dan peninjauan ulang izin tambang bermasalah
Terutama yang merusak lingkungan dan memicu konflik sosial. - Penguatan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan
Tanpa kompromi dan tanpa tebang pilih. - Transparansi penuh pengelolaan sumber daya alam
Agar publik mengetahui siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. - Penempatan rakyat sebagai tujuan utama kebijakan
Bukan sebagai korban dari ekspansi industri ekstraktif.
Penutup: Negara yang Tunduk pada Modal Kehilangan Arah
Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan pengusaha tambang, apalagi mengorbankan amanat UUD 1945 dan nilai keadilan. Islam dan konstitusi sama-sama menegaskan bahwa kekuasaan harus diabdikan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk akumulasi kekayaan segelintir pejabat.
Allah SWT mengingatkan:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Selama kebijakan sumber daya alam lebih setia pada modal daripada konstitusi dan moral, rakyat akan terus menanggung kerusakan, sementara kemakmuran hanya berputar di lingkaran sempit kekuasaan dan uang. Negara yang adil bukan negara yang ramah pada tambang, tetapi negara yang setia pada amanah rakyatnya.