Mahkamah Konstitusi (MK) telah mendiskualifikasi semua pasangan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Barito Utara 2024 karena terbukti melakukan praktik uang secara masif. Putusan ini memerintahkan pelaksanaan pemungutan suara ulang dalam waktu 90 hari sejak putusan dibacakan.
Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, menyoroti bahwa penyelesaian kasus ini seharusnya tidak hanya melalui pendekatan administratif, tetapi juga masuk ke ranah pidana. Ia menilai bahwa pembuktian kejahatan permainan uang seharusnya melalui proses pemidanaan untuk memberikan efek jera.
Dalam perspektif Islam, praktik uang merupakan bentuk korupsi yang merusak tatanan masyarakat dan keadilan. Rasulullah SAW bersabda:
“Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Praktik semacam ini tidak hanya melanggar hukum negara tetapi juga nilai-nilai moral dan etika dalam Islam. Islam menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, juga menyatakan keprihatinannya atas kerugian yang ditimbulkan akibat pilkada ulang yang menelan biaya hingga Rp 27 miliar. Ia menilai bahwa dana sebesar itu seharusnya dapat digunakan untuk program lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan kejujuran dalam proses demokrasi. Masyarakat diharapkan lebih kritis dan tidak tergoda oleh iming-iming materi dalam menentukan pilihannya.
Dalam konteks ini, penting bagi lembaga terkait untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum guna mencegah terulangnya praktik serupa di masa mendatang. Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi calon, bukan karena imbalan materi, perlu terus digalakkan.
Dengan demikian, diharapkan proses demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan lebih bersih, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.