muslimx.id – Beberapa waktu terakhir, dunia Islam kembali dikejutkan dengan kisah memilukan tiga jemaah haji ilegal yang mencoba masuk ke Tanah Suci melalui jalur tidak resmi, bahkan ada yang menyusup lewat jalur gurun pasir di tengah panas ekstrem dan minim persiapan. Tujuannya satu: menunaikan ibadah haji tanpa izin resmi.
Namun, naas, satu dari mereka dilaporkan meninggal dunia karena dehidrasi, tersesat, atau kehabisan bekal di tengah ganasnya gurun yang membentang di sekitar Mekkah dan Madinah. Tragedi ini mengundang keprihatinan mendalam: mengapa ibadah yang seharusnya mulia harus berujung petaka?
Keinginan Mulia, Tapi Jalan yang Salah
Tak bisa dipungkiri, keinginan berhaji adalah niat suci dan mulia. Namun, dalam Islam, niat baik saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan cara yang benar.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami ini (agama), yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks ini, menunaikan haji secara ilegal yang membahayakan diri sendiri dan merugikan sistem penyelenggaraan haji, termasuk melanggar hukum negara dan peraturan otoritas Saudi, adalah jalan yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Islam Melarang Mencelakakan Diri Sendiri
Al-Qur’an secara tegas melarang tindakan yang dapat mencelakakan diri:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah: 195)
Melintasi gurun tanpa perlindungan, logistik yang memadai, atau izin resmi, jelas merupakan bentuk tindakan yang membahayakan diri sendiri, yang dilarang dalam syariat. Islam sangat menghargai nyawa manusia, dan tidak pernah memerintahkan ibadah dengan cara yang membinasakan.
Haji Adalah Ibadah yang Disyaratkan Mampu
Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu di luar kemampuannya. Haji diwajibkan hanya bagi yang mampu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Kemampuan (istitha’ah) di sini mencakup: Fisik, Finansial, Aman dari gangguan, dan Legalitas perjalanan. Jika belum memenuhi syarat, maka tidak ada dosa dalam menunda haji hingga Allah bukakan jalan.
Bagaimana Haji di Masa Lalu?
Sebelum zaman modern, umat Islam menunaikan haji dengan perjalanan panjang berbulan-bulan, baik dengan unta, berjalan kaki, atau kapal layar. Tapi mereka tetap melalui jalur resmi, lewat rombongan caravan atau jalur dagang yang terorganisir.
Kendati lelah dan lama, perjalanan itu legal, aman, dan dirancang sesuai kemampuan. Bahkan dalam sejarah, para khalifah dan sultan menyiapkan jalan haji khusus, sumur, dan pos bantuan di tengah padang pasir agar jemaah tidak binasa.
Mereka tidak memaksakan diri, dan hanya berangkat jika benar-benar mampu. Inilah hikmah dari syarat “istitha’ah” yang dijaga sejak dulu oleh ulama dan umat Islam.
Muslim yang belum bisa berhaji karena keterbatasan kuota, biaya, atau usia, tidak perlu merasa gagal dalam beragama. Allah melihat ketulusan niat, dan kadang dengan sabar menanti dan mematuhi aturan, justru ganjarannya lebih besar daripada mereka yang tergesa dan melanggar batas.
Kisah tragis para jemaah haji ilegal yang menempuh jalur gurun pasir dan meninggal dunia adalah peringatan keras bagi kita semua: bahwa ibadah harus mengikuti kaidah syariat dan keselamatan jiwa adalah prioritas utama dalam Islam.
Jangan sampai semangat ibadah berubah menjadi bencana, hanya karena mengabaikan aturan dan keselamatan. Haji bukan sekadar perjalanan fisik ke Mekkah, melainkan ibadah agung yang menuntut kesiapan lahir dan batin, serta ketaatan penuh pada syariat.