Soekarno Run Meriah, Tapi Rakyat Masih Lari dari Sembako Mahal: Islam Ingatkan, Pemimpin Bukan Pelari Panggung, Tapi Pelayan Umat

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.id – Acara Soekarno Run yang digelar di Solo, Minggu (15/6), berlangsung meriah. Lebih dari 5.500 peserta ikut berlari dalam peringatan Bulan Bung Karno, dipimpin oleh pejabat PDIP dan sejumlah tokoh publik. Di antara mereka hadir Komaruddin Watubun, Djarot S. Hidayat, hingga Once Mekel. Acara ini disebut sebagai simbol nasionalisme dan gotong royong.

Namun, bagi sebagian rakyat yang tengah berjibaku dengan kenaikan harga beras, minyak goreng, dan tarif listrik, “lari-lari kebangsaan” seperti ini justru terasa seperti kemewahan yang menjauh dari realitas.

Partai X: Nasionalisme Bukan Lari di Solo, Tapi Berlari ke Rakyat

Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyampaikan kritik tajam. “Sementara para pejabat berlari bersama kamera dan panggung, rakyat di desa dan kota masih harus ‘lari’ dari harga sembako yang menggila,” tegasnya.

Rinto menegaskan, nasionalisme bukan tentang sepatu lari dan baliho besar, tetapi tentang siapa yang berani turun ke pasar, menahan harga, dan berdiri bersama rakyat kecil. Ia menyebut, “Soliditas partai tak ada artinya bila rakyat sendiri terus dipaksa hidup dalam kesempitan.”

Islam: Kepemimpinan Bukan Ajang Peringatan, Tapi Ladang Pengabdian

Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah pelayan umat, bukan pengendali simbol. Rasulullah SAW bersabda:

“Imam itu adalah raa’in (penggembala/pelindung), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari, Muslim)

Maka, kepemimpinan bukan dinilai dari kemeriahan agenda seremonial, tapi dari sejauh mana pemimpin hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, pangan, kesehatan, pendidikan, dan keadilan.

Simbolisme Tanpa Empati Adalah Ketimpangan Moral

Partai X menekankan bahwa peringatan Bung Karno justru kehilangan makna jika hanya berhenti pada simbol dan selebrasi. Islam mengajarkan bahwa amal tanpa empati dan keadilan adalah sia-sia. Al-Qur’an mengecam pemimpin yang lebih mementingkan kemewahan simbolik daripada penderitaan rakyat:

“Celakalah bagi orang-orang yang shalat, namun lalai terhadap shalatnya, dan hanya ingin dilihat manusia.” (QS. Al-Ma’un: 4–6)

Rinto menambahkan, “Kalau Bung Karno hidup hari ini, beliau mungkin tidak ikut lari, tapi hadir di dapur umum rakyat. Karena nasionalisme bukan tampil di depan kamera, tapi turun ke bawah bersama derita bangsa.”

Solusi Islam dan Partai X: Nasionalisme yang Melayani

Alih-alih sibuk dengan agenda simbolik, Partai X menawarkan model nasionalisme berbasis pengabdian. Acara seperti Soekarno Run seharusnya disandingkan dengan aksi nyata: pembagian sembako, pengobatan gratis, konsultasi hukum gratis bagi masyarakat miskin, atau forum aspirasi rakyat.

Program Sekolah Negarawan yang digagas Partai X dibangun untuk mencetak pemimpin berjiwa pelayan, bukan pemimpin panggung. Dalam Islam, pemimpin terbaik adalah mereka yang paling dekat dengan penderitaan umat, bukan yang paling sering difoto.

Arah Nasionalisme Sejati: Dari Jalanan ke Keadilan

Islam mengingatkan bahwa tugas penguasa bukan menggelar lomba lari, tapi membawa rakyat keluar dari kemiskinan dan ketimpangan. Sejarah perjuangan Bung Karno pun bukan dilahirkan dari stadion dan start line, melainkan dari keberpihakan kepada rakyat tertindas.

Di akhir pernyataannya, Rinto Setiyawan menegaskan:

“Revolusi mental bukan ditunjukkan dengan sepanduk dan gerakan kaki, tapi dengan keberanian memutus rantai ketidakadilan yang menjerat hidup rakyat setiap hari.”

Share This Article