muslimx.id — Sidang kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan eks Menteri Perdagangan Tom Lembong kembali menyita perhatian publik. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025), Tom menyebut bahwa kebijakan impor gula oleh PT PPI dilakukan atas arahan langsung Presiden dalam sidang kabinet tahun 2015. Pernyataan ini memicu pertanyaan besar: benarkah dalam pemerintahan yang sehat, perintah atasan bisa dijadikan tameng atas kesalahan?
Sudut Pandang Islam
Dari sudut pandang Islam, jawaban atas pertanyaan itu sangat jelas: tidak.
Dalam Islam, kekuasaan bukanlah alat, tapi amanah (titipan) dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika seorang pejabat menyetujui kebijakan impor yang diduga tidak melalui prosedur lengkap dan merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah, maka persoalannya bukan hanya administratif, tapi moral dan akidah. Islam tidak mengenal pembelaan “saya hanya menjalankan perintah atasan” jika perintah itu bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.
Islam mengajarkan prinsip yang kokoh: ketaatan kepada pemimpin hanya berlaku jika perintahnya sesuai syariat dan tidak melanggar keadilan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Kebijakan Impor Menurut Islam
Maka, ketika kebijakan impor justru dijadikan ruang permainan kuasa, dilakukan tanpa koordinasi yang sah, tanpa transparansi, dan akhirnya menimbulkan kerugian negara itu bukan hanya pelanggaran administratif. Itu adalah pengkhianatan terhadap tanggung jawab kekuasaan.
Dalam Islam, keadilan adalah fondasi sebuah negara. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Sistem pemerintahan Islam mengharuskan setiap keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat ditimbang secara adil, transparan, dan melalui musyawarah (syura). Jika sebuah keputusan besar seperti impor pangan dilakukan hanya berdasarkan perintah lisan dan mengabaikan prosedur, maka keputusan itu cacat secara syariat dan logika. Itu bukan lagi kepemimpinan, melainkan kebijakan feodal yang mengabaikan akuntabilitas.
Pangan dalam Islam adalah kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara, bukan dijadikan objek permainan dagang segelintir kelompok. Khalifah Umar bin Khattab pernah menolak makan daging karena khawatir rakyatnya tak sanggup membelinya. Ini adalah simbol etika kepemimpinan dalam Islam, pemimpin terakhir makan, bukan yang pertama menimbun.
Ironisnya, kasus impor gula ini justru memperlihatkan bahwa pangan masih dilihat sebagai ladang proyek, bukan sebagai amanah. Jika benar keputusan diambil demi “mengatasi harga”, lalu ujungnya malah merugikan negara, maka jelas ada penyimpangan yang harus diusut, tak peduli siapa pun yang memberi perintah.
Partai X, dalam pernyataannya, menyinggung pentingnya etika birokrasi. Dalam Islam, hal ini sudah lebih dulu diajarkan: menolak perintah yang zalim adalah bentuk ibadah tertinggi. Bahkan, Nabi menyebut:
“Pemimpin yang adil akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya.” (HR. Bukhari)
Artinya, pejabat yang menolak kebijakan zalim adalah pejuang kebenaran, bukan pembangkang. Ketika seorang menteri hanya “patuh” pada atasan, tapi melanggar prosedur hukum dan prinsip keadilan, maka ia sedang menukar amanahnya dengan rasa aman semu di hadapan manusia bukan Allah.
Kesimpulan
Islam menuntut negara dijalankan dengan nilai kejujuran, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat. Korupsi yang dibungkus perintah kekuasaan adalah bentuk kemunafikan birokrasi. Karena itu, pengadilan harus tetap berjalan secara adil, bukan tunduk pada pengaruh jabatan.
Dan rakyat berhak bertanya: jika semua bisa dibenarkan atas nama perintah, lalu siapa yang akan membela keadilan?
Jika hukum dilompati atas nama kekuasaan, maka bukan hanya uang negara yang hilang, tapi juga berkah dari pemerintahan itu sendiri.