Menyembunyikan Skala Bencana, Dalam Islam Sama Dengan Mengabaikan Amanah

muslimX
By muslimX
5 Min Read

muslimx.id — Di berbagai bencana besar di Indonesia, terutama di wilayah yang jauh dari pantauan pusat kekuasaan, ada pola yang terus berulang: data korban, kerusakan, dan skala bencana tampak “diperkecil” dibandingkan kondisi sebenarnya. Warga melaporkan puluhan desa terisolasi, sementara laporan resmi hanya menyebut “belasan”. Relawan menemukan ratusan rumah hanyut, tetapi pemerintah daerah menggambarkannya sebagai “sebagian rusak”.

Pertanyaannya pun muncul, sederhana namun menohok: apakah skala bencana sengaja disamarkan agar skala korupsi tidak ikut terbongkar?

Sebab semakin besar angka kerusakan, semakin besar anggaran yang harus dipertanggungjawabkan. Dan di titik itulah kepentingan mulai bermain.

Bencana Besar, Tapi Laporannya Dikecilkan

Dari lapangan, warga dan relawan menggambarkan situasi yang sangat parah: desa yang terputus akses, korban yang belum terjangkau evakuasi, kerusakan infrastruktur yang masif.

Namun ketika sampai ke laporan resmi, seolah angka-angka itu dikecilkan. Narasinya “dijinakkan”. Ada beberapa kemungkinan alasan: menghindari sorotan dan teguran dari pemerintah pusat, menutup penyimpangan anggaran bencana, meredam tekanan publik agar tidak menuntut pertanggungjawaban.

Ketika data kerusakan diperkecil, pertanyaan mengenai kemana anggaran mengalir menjadi lebih mudah ditenggelamkan. Di sinilah manipulasi angka dapat berubah menjadi benteng bagi penyimpangan.

Minim Transparansi, Maksimal Kecurigaan

Beberapa daerah yang terdampak bencana besar memang memiliki catatan panjang terkait pengelolaan anggaran yang tidak transparan. Dalam kondisi seperti ini, mengaburkan skala bencana menjadi “tameng” yang efektif.

Semakin kecil angka bencana di laporan resmi, semakin kecil ruang publik menagih: berapa sebenarnya anggaran, bagaimana penggunaannya, apakah bantuan sesuai skala kebutuhan.

Ketika data korban diperkecil dan kerusakan ditutupi, publik kehilangan dasar untuk meminta pertanggungjawaban. Lalu muncul pertanyaan: apakah bencana ditangani sebagai keadaan darurat, atau sebagai peluang untuk menutupi korupsi?

Jika benar skala musibah dikecilkan, maka rakyat mengalami kerugian ganda. Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan mata pencaharian. Mereka kehilangan hak atas data jujur dan alokasi anggaran yang semestinya. Musibah alam sudah cukup menghancurkan, tetapi manipulasi data membuat luka kedua yang jauh lebih tajam pukulan dari pemerintah yang seharusnya melindungi.

Ketika data disamarkan: bantuan tersendat, alokasi tidak tepat, pemulihan berjalan jauh lebih lambat, dan warga dibiarkan menanggung penderitaan lebih lama dari seharusnya.

Partai X: Kalau Data Bencana Tidak Jujur, Negara Gagal Menjalankan Tugas Dasarnya

Menanggapi kecenderungan manipulasi skala musibah, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, memberikan pernyataan tegas:

“Tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi bagaimana negara bisa melindungi kalau data musibah saja tidak jujur? Bagaimana bisa melayani kalau fakta lapangan dimanipulasi?”

Ia menegaskan bahwa kejujuran data adalah syarat pertama dalam penanganan bencana.

“Kalau angka bencana diperkecil untuk menutupi penyimpangan anggaran, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi itu pengkhianatan terhadap rakyat.”

Pandangan Islam: Menyembunyikan Fakta Publik adalah Dosa Amanah

Islam memandang data publik dan informasi keselamatan sebagai bagian dari amanah yang wajib dijaga pemimpin. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah seorang pemimpin yang menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari)

Dalam konteks modern, menipu rakyat mencakup: menyembunyikan skala bencana, memanipulasi laporan kerusakan, mengaburkan anggaran yang seharusnya untuk rakyat.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak.” (QS. An-Nisa: 58)

Data musibah adalah bagian dari amanah. Mengurangi angka korban atau kerusakan berarti: menghalangi bantuan tepat sasaran, menunda penyelamatan, menutup ruang pengawasan publik, dan membuka pintu korupsi.

Itu bukan hanya kesalahan administratif itu perbuatan zalim yang dilarang dalam syariat.

Solusi: Transparansi Total untuk Menghentikan Manipulasi

Partai X menawarkan langkah konkrit agar data musibah tidak lagi dijadikan alat untuk menutupi penyimpangan:

  1. Publikasi Data Bencana Real-Time
    Data korban, kerusakan, dan logistik dipublikasikan harian.
  2. Audit Menyeluruh Setiap Status Darurat
    Audit tidak menunggu bencana selesai harus berjalan selama masa krisis.
  3. Dashboard Terbuka yang Menghubungkan Data Bencana dan Anggaran
    Publik bisa memeriksa apakah bantuan sesuai skala kerusakan.
  4. Sanksi Pidana untuk Manipulasi Data
    Pengecilan data harus dipandang sebagai tindak koruptif.
  5. Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Verifikasi Data
    Agar data tidak dimonopoli pemerintah daerah.
  6. Sistem Whistleblower yang Aman
    Relawan dan warga bisa melaporkan penyimpangan tanpa ancaman.

Penutup: Negara Tidak Boleh Menggunakan Bencana sebagai Tirai

Skala bencana bukan angka itu nyawa, itu penderitaan, itu kenyataan hidup manusia.
Menutupinya bukan hanya kelalaian, tetapi kezaliman.

Jika skala bencana disembunyikan demi menutupi skala korupsi, negara telah gagal menjaga amanah terdasarnya: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat dengan adil.

Sebaliknya, ketika data dibuka dan anggaran diawasi secara jujur, negara tidak hanya menyelamatkan rakyat tetapi juga menyelamatkan dirinya sendiri dari kezaliman dan kehancuran kepercayaan publik.

Share This Article