muslimx.id — Dalam beberapa tahun terakhir, rakyat menghadapi tekanan yang semakin berat. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik: beras, minyak, daging, telur, bahkan sayur-mayur sederhana yang dulu terjangkau kini menjadi beban tambahan. Namun di saat yang sama, pendapatan keluarga justru stagnan.
Bagi keluarga miskin dan pekerja informal, krisis ini tidak terlihat dalam laporan resmi negara, tetapi terasa nyata di meja makan, di dapur, dan dalam kecemasan sehari-hari. Dalam Islam, kondisi ini adalah tanda bahwa keadilan ekonomi sedang terganggu.
Inflasi yang Menggerus Daya Beli: Krisis yang Tidak Diakui
Angka inflasi yang diumumkan pemerintah sering tampil stabil. Namun kenyataan di pasar berbeda jauh. Harga pangan naik jauh lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan pendapatan.
Bagi yang berpenghasilan tetap, kenaikan harga berarti menurunnya kualitas hidup. Bagi pekerja informal, inflasi bahkan bisa menjadi garis pembatas antara bisa makan hari itu atau tidak.
Islam menekankan bahwa kenaikan harga yang membebani rakyat harus menjadi perhatian utama negara. Umar bin Khattab RA pernah turun langsung mengawasi harga pasar karena memahami: stabilitas ekonomi bukan soal angka, tetapi soal apakah rakyat mampu bertahan hidup.
Pendapatan yang Stagnan: Bekerja Lebih Keras, Hidup Tidak Lebih Baik
Ketika semua harga naik, tetapi pendapatan tidak ikut bergerak, maka rakyat sedang mengalami krisis paling nyata. Upah minimum tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup, bahkan sering kali kalah jauh dari laju inflasi pangan.
Petani merugi karena biaya produksi meningkat; UMKM kesulitan bertahan karena modal tidak berkembang; pekerja informal tidak punya perlindungan pendapatan.
Islam mengajarkan bahwa bekerja keras seharusnya mendekatkan seseorang pada kesejahteraan, bukan menambah beban. Ketika rakyat bekerja lebih banyak tetapi hasilnya tetap sedikit, maka ada struktur ekonomi yang tidak berjalan adil.
Biaya Hidup Melonjak, Negara Mengaku Stabil
Narasi pemerintah tentang “ekonomi stabil” tidak memiliki makna jika rakyat tidak mampu membeli kebutuhan pokoknya sendiri. Stabilitas makro tidak relevan ketika harga beras lebih terasa daripada grafik pertumbuhan ekonomi.
Negara tidak boleh terlena dengan statistik ketika rakyat sedang menanggung kesulitan paling nyata. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa pemimpin adalah pelindung rakyat, bukan sekedar pengolah angka.
Keluarga kecil harus memilih antara membeli lauk atau membayar listrik; antara kebutuhan pangan atau biaya sekolah. Pilihan-pilihan sulit ini memperlebar ketimpangan sosial dan membuat jutaan keluarga terjebak dalam siklus kemiskinan.
Islam mengingatkan: “Tidak beriman seseorang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan.”
Krisis hari ini menunjukkan bahwa negara dan pejabat ekonomi belum benar-benar memastikan tetangganya yaitu rakyat terbebas dari lapar dan kesulitan. Krisis tidak memukul semua orang secara setara; yang kecil selalu menjadi korban paling besar.
Solusi: Kebijakan Ekonomi yang Berpihak pada Rakyat
Untuk mengatasi krisis harga dan pendapatan stagnan, negara harus mengambil langkah cepat dan tegas yang berpihak kepada rakyat:
- Stabilisasi harga pangan
Dengan memperkuat distribusi, transparansi stok, dan pengawasan ketat terhadap rantai pasok agar tidak dikuasai spekulan. - Kebijakan upah berbasis biaya hidup nyata
Upah harus disesuaikan dengan realitas pasar, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. - Penguatan UMKM dan sektor informal
Agar rakyat yang menjadi mayoritas tenaga kerja memiliki ruang tumbuh yang nyata. - Subsidi tepat sasaran untuk kebutuhan dasar
Pangan, energi, pendidikan, dan kesehatan harus mudah dan terjangkau. - Transparansi kebijakan ekonomi
Publik berhak mengetahui arah kebijakan dan mengawasi penggunaan anggaran.
Islam mengajarkan bahwa kebijakan ekonomi harus berorientasi pada kemaslahatan dan proteksi terhadap yang lemah.
Kesimpulan: Keadilan Ekonomi Dimulai dari Kemampuan Rakyat Bertahan Hidup
Harga-harga naik dan pendapatan stagnan adalah alarm keras bahwa sistem ekonomi belum berpihak pada rakyat. Jika rakyat terus menanggung beban krisis, maka arah pembangunan harus dikoreksi.
Negara memiliki tanggung jawab moral dan syar’i untuk memastikan bahwa setiap warga dapat hidup dengan layak.
Dalam Islam, keadilan ekonomi dimulai dari satu hal sederhana: rakyat tidak boleh dibuat menderita di tengah pertumbuhan yang diklaim membaik.