Rajin Ibadah, Salah Memilih Pemimpin: Ketika Kesalehan Personal Dikira Kecakapan Publik

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.idDi tengah masyarakat Muslim, ada satu paradoks yang sering muncul dan jarang dibicarakan secara jujur: umat yang rajin ibadah tetapi berulang kali keliru memilih pemimpin. 

Masjid penuh, majelis taklim ramai, ibadah personal terjaga namun hasil kepemimpinan publik justru melahirkan kekecewaan, ketimpangan, bahkan ketidakadilan baru.

Pertanyaannya bukan untuk merendahkan kesalehan, melainkan untuk mengoreksi cara berpikir: mengapa kesalehan personal sering gagal diterjemahkan menjadi pilihan yang tepat?

Kesalehan Personal vs Kecakapan Publik

Islam memuliakan ibadah. Shalat, puasa, dan zikir adalah fondasi iman. Namun Islam juga mengajarkan bahwa mengelola urusan publik membutuhkan kecakapan khusus. Tidak semua orang yang saleh secara pribadi otomatis cakap memimpin masyarakat yang kompleks.

Kesalahan paling umum yang terjadi adalah menyamakan akhlak personal dengan kapasitas kepemimpinan. Seorang pemimpin dinilai dari simbol agama: cara berpakaian, kefasihan bicara agama, atau kedekatan dengan tokoh keagamaan. Padahal, kepemimpinan publik menuntut kemampuan mengelola kebijakan, membaca data, membangun sistem, dan mengambil keputusan sulit yang berdampak luas.

Islam sendiri memberi batas tegas. Rasulullah SAW menekankan amanah dan quwwah (kapasitas). Tanpa keduanya, jabatan justru berubah menjadi sumber kerusakan.

Ketika Simbol Mengalahkan Substansi

Di ruang pemerintahan, simbol agama sering tampil lebih menonjol daripada rekam jejak dan kemampuan. Umat yang tulus ingin memilih pemimpin baik akhirnya terjebak pada penilaian permukaan. Kesalehan ditafsirkan secara visual, bukan fungsional.

Akibatnya, pemimpin terpilih bisa saleh di hadapan kamera, tetapi gagap di ruang kebijakan. Niatnya mungkin lurus, tetapi keputusan-keputusannya keliru. Dalam skala negara, kekeliruan semacam ini tidak sederhana ia menyentuh hidup jutaan orang.

Islam tidak pernah mengajarkan umatnya memilih pemimpin hanya karena penampilan religius. Umar bin Khattab RA dikenal keras, tegas, dan sederhana bukan karena simbol, tetapi karena keadilan dan kapasitasnya mengelola negara.

Partai X: Krisis Literasi Politik Umat

Prayogi R. Saputra, Direktur X-Institute, melihat fenomena ini sebagai krisis literasi politik yang serius di kalangan umat.

“Banyak umat rajin beribadah, tapi tidak dibekali pemahaman dasar tentang kepemimpinan publik. Akhirnya, yang dipilih bukan yang paling mampu, melainkan yang paling terlihat saleh. Ini bukan kesalahan iman, tapi kesalahan cara menilai,” ujarnya.

Menurut Prayogi, ibadah yang kuat seharusnya melahirkan ketajaman moral dan nalar, bukan kepolosan politik. Ketika umat tidak dibekali literasi politik, simbol agama mudah dimanipulasi, dan agama pun dijadikan alat legitimasi kekuasaan.

Masalah lain terletak pada pendidikan keagamaan yang sering berhenti di wilayah ritual. Umat diajarkan bagaimana menjadi Muslim yang baik secara personal, tetapi jarang diajak memahami bagaimana Islam memandang tata kelola, keadilan struktural, dan kepemimpinan publik.

Akibatnya, umat saleh secara spiritual, tetapi rapuh secara etika. Mereka tulus, namun mudah diarahkan. Mereka taat, tetapi sering salah menaruh harapan.

Padahal, Islam adalah agama peradaban. Ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan kekuasaan dan kebijakan.

Penutup: Dari Kesalehan Simbolik ke Kesalehan Substantif

Dalam Islam, memilih pemimpin bukan sekadar hak, melainkan amanah. Kesalahan memilih bukan dosa kecil jika dilakukan karena malas berpikir atau enggan belajar. Dampaknya bukan hanya dirasakan pemilih, tetapi seluruh masyarakat.

“Kesalehan sejati bukan hanya rajin ibadah, tetapi juga bertanggung jawab atas dampak sosial dari pilihan politiknya,” tutup Prayogi. 

Umat Islam tidak kekurangan orang yang taat beribadah. Yang masih kurang adalah kemampuan membedakan antara kesalehan personal dan kecakapan publik. Selama simbol agama terus dijadikan ukuran utama kepemimpinan, kesalahan yang sama akan terus berulang.

Sudah saatnya kesalehan naik kelas: dari sekadar simbol menuju kesalehan yang berpikir, menimbang, dan bertanggung jawab. Sebab dalam Islam, iman tidak hanya diuji di sajadah, tetapi juga dalam keputusan memilih siapa yang akan memegang amanah kekuasaan.

Share This Article