Ketika Agama Dijadikan Alat Kekuasaan: Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dikorbankan?

muslimX
By muslimX
4 Min Read

muslimx.idDi setiap musim pemilihan, agama sering tampil di ruang publik dengan wajah yang berbeda. Ayat dikutip, simbol diperlihatkan, dan istilah-istilah religius digaungkan. Sekilas, ini tampak sebagai ekspresi keimanan. 

Namun ketika agama digunakan untuk membenarkan kekuasaan atau menjatuhkan lawan, pertanyaan mendasarnya justru mengusik apakah yang sedang diperjuangkan nilai Islam, atau kepentingan politik yang berlindung di baliknya?

Islam adalah agama nilai, bukan sekadar simbol. Ketika agama dipersempit menjadi alat legitimasi kekuasaan, yang rusak bukan hanya pemerintahan, tetapi juga kepercayaan umat terhadap ajaran itu sendiri.

Agama sebagai Legitimasi Kekuasaan

Sejarah menunjukkan bahwa agama kerap digunakan untuk memberi cap “suci” pada kepentingan duniawi. Dengan mengatasnamakan iman, kekuasaan memperoleh tameng moral yang sulit dikritik. Siapa yang berbeda pendapat mudah dicap sebagai penentang agama, bukan sekadar lawan.

Al-Qur’an telah mengingatkan bahaya ini dengan tegas:

“Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” (QS. Al-Baqarah: 41)

Ayat ini bukan sekadar larangan transaksional, tetapi peringatan keras agar wahyu tidak dijadikan alat kepentingan sesaat. Ketika ayat dipakai untuk meraih kekuasaan, maka kepercayaan telah direduksi menjadi komoditas.

Simbol Agama vs Nilai Islam

Masalah utama identitas bukan pada keberagamaan itu sendiri, melainkan pada pengaburan antara simbol dan substansi. Jubah, jargon, dan slogan religius ditampilkan, tetapi nilai keadilan, kejujuran, dan amanah justru absen dalam praktik.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa akhlak adalah inti keberagamaan. Politik yang memamerkan simbol kepercayaan tetapi mengabaikan kejujuran dan keadilan sejatinya telah keluar dari nilai Islam itu sendiri.

Ketika umat gagal membedakan simbol dan nilai, mereka mudah diarahkan secara emosional. Agama pun menjadi alat mobilisasi, bukan sumber pencerahan.

Dampak Jangka Panjang Politisasi Iman

Dalam jangka pendek, kepercayaan mungkin efektif. Ia menggerakkan massa, membangun loyalitas, dan menciptakan pembelahan yang menguntungkan segelintir penguasa. Namun dalam jangka panjang, kerusakan yang ditinggalkan jauh lebih besar.

Pertama, umat menjadi lelah dan sinis. Ketika janji religius tidak dibarengi keadilan nyata, kepercayaan publik terhadap agama ikut terkikis. Kedua, kepercayaankehilangan wibawa moralnya karena terlalu sering dibawa ke konflik kepentingan. Ketiga, perpecahan sosial mengeras, sebab perbedaan politik diubah menjadi perbedaan iman.

Al-Qur’an mengingatkan:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolong-golongan, kamu tidak ada tanggung jawab sedikitpun terhadap mereka.” (QS. Al-An’am: 159)

Ayat ini menegaskan bahwa agama tidak boleh dijadikan alat pemecah, apalagi demi kekuasaan.

Penutup: Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dikorbankan?

Islam tidak menolak kekuasaan. Yang ditolak adalah kekuasaan tanpa etika. Kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hak yang bisa diraih dengan cara apa pun.

Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menempatkan kekuasaan dalam bingkai tanggung jawab, bukan pembenaran. Agama seharusnya menjadi pengontrol kekuasaan, bukan alat untuk mengamankannya.

Ketika agama dijadikan alat politik, yang diuntungkan adalah mereka yang sedang mengejar kekuasaan. Yang dikorbankan adalah nilai Islam, persatuan umat, dan kepercayaan publik.

Sudah saatnya umat Islam bersikap lebih dewasa: memuliakan agama dengan menjaganya dari manipulasi, serta menguji pemerintahan bukan dari simbolnya, tetapi dari dampaknya. Sebab Islam diturunkan untuk menegakkan keadilan, bukan untuk menghalalkan ambisi.

Agama seharusnya menerangi kekuasaan, bukan dibakar untuk menerangi jalan menuju kursi.

Share This Article