Apakah Israel Dikucilkan Komunitas Internasional?

muslimX
By muslimX
6 Min Read

Perhatian dunia kembali tertuju pada konflik yang terus membara di Gaza. Israel menghadapi tekanan internasional yang kian masif untuk menghentikan serangan-serangan militer yang dinilai brutal dan berdampak besar pada warga sipil Palestina. Sejumlah pemerintahan, organisasi internasional, dan lembaga keagamaan mulai mengambil sikap tegas, bahkan sampai mempertimbangkan berbagai bentuk sanksi. Bagaimana peran Indonesia, negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, dalam lanskap pemerintahan ini? Dan dari sudut pandang Islam, apakah pembelaan terhadap kemanusiaan yang manusiawi menuntut sikap “mengucilkan” Israel atau justru mencari jalan mediasi agar korban sipil tidak terus berjatuhan?

Sejak awal tahun 2025, gelombang kecaman terhadap operasi militer Israel di Jalur Gaza terus menguat. Pada 10 Mei 2025, Mahkamah Internasional (ICJ) menerima gugatan yang diajukan oleh Afrika Selatan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Gaza.

Uni Eropa (UE) juga ikut mengambil sikap. Sejak awal April 2025, beberapa negara anggota UE seperti Norwegia, Belanda, dan Irlandia menunda ekspor peralatan militer tertentu ke Israel. Perdana Menteri Irlandia, Leo Sheehan, menyatakan bahwa “Israel wajib memprioritaskan keselamatan warga sipil, atau Uni Eropa akan mempertimbangkan sanksi yang lebih keras.” Di Amerika Latin, Argentina dan Meksiko juga mengumumkan peninjauan kembali hubungan diplomatik, termasuk rencana memanggil duta besar masing-masing negara untuk klarifikasi.

Organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) internasional, seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, bahkan menyerukan agar Israel dimasukkan ke dalam daftar negara yang “melanggar norma perang,” sehingga investor dan korporasi global diharapkan menarik diri dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam produksi peralatan militer di Israel. Seruan ini kian mendapat sorotan publik setelah laporan PBB menyebutkan bahwa lebih dari 2.300 warga sipil, termasuk 700 anak-anak, meninggal dunia di Gaza dalam tiga bulan terakhir.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, senantiasa menegaskan solidaritasnya terhadap rakyat Palestina. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam konferensi pers 15 Mei 2025, menekankan bahwa “kedaulatan Palestina dan keselamatan warga sipil harus menjadi prioritas dunia. Indonesia mendesak gencatan senjata segera, serta penegakan hak asasi manusia tanpa pandang bulu.” Langkah diplomatik konkret juga ditunjukkan ketika Indonesia memilih menolak voting dalam Dewan Keamanan PBB pada 22 Mei, menilai resolusi yang ada belum cukup kuat melindungi warga sipil Gaza.

Pada tingkat organisasi Islam, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengeluarkan pernyataan kolektif pada 25 Mei yang menyerukan agar negara anggota menekan Israel melalui jalur diplomasi, ekonomi, dan sosial hingga penghentian total serangan. OKI juga membuka jalur bantuan kemanusiaan langsung ke garis depan di Gaza, bekerja sama dengan lembaga-lembaga NGO di Lapangan.

Tidak kalah penting, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 8 Mei 2025 yang menegaskan:

“Setiap tindakan yang mengorbankan nyawa tak berdosa adalah dosa besar. Umat Islam di seluruh dunia wajib menghentikan pendanaan atau kerja sama apa pun yang berpotensi mendukung operasi militer yang menimbulkan kerugian pada jiwa sipil.”

Dengan dalil Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 32:

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang benar, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh umat manusia…”

MUI secara tegas meminta agar pemerintah memberlakukan kebijakan untuk meninjau hubungan dagang dan finansial tertentu dengan entitas atau perusahaan Israel yang terlibat dalam industri persenjataan.

Dari perspektif syariah, prinsip keadilan (‘adl) dan larangan menzalimi (dzulm) menjadi fondasi utama. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa memaafkan dan mengadakan perdamaian, maka pahalanya di sisi Allah…” (QS. Asy-Syura: 40)

Namun, “memaafkan” di sini bukan berarti membiarkan kezaliman berlanjut tanpa konsekuensi. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis:

“Janganlah kalian mencabut hak orang lain, lalu kalian menganggap itu bijaksana.” (HR. Ahmad)

Sehingga, mengecam, memutus kerja sama dalam hal-hal yang berpotensi mendukung penindasan, dan menekan melalui jalur diplomasi merupakan bagian dari upaya mencegah penyebaran dzulm itu sendiri. Dalam dunia modern, ini bisa diwujudkan melalui boikot produk, sanksi ekonomi, dan kampanye global agar investor menarik diri dari industri militer Israel. Sikap ini selaras dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan utama hukum Islam) yang melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ketika nyawa warga sipil terancam, umat beriman berkewajiban mengambil langkah nyata demi melindungi harta dan jiwa mereka.

Sebagai negara mayoritas Muslim, Indonesia mengambil peran penting dalam menyuarakan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Dengan berpegang pada nilai-nilai Islam, yang menentang penindasan dan mendorong perlindungan terhadap jiwa yang tak berdosa Indonesia turut menekan melalui diplomasi, memfasilitasi bantuan kemanusiaan, serta menyerukan agar komunitas internasional berpikir ulang tentang hubungan ekonomi dan sosial dengan Israel.

Namun pada saat yang sama, Islam juga mengajarkan pentingnya pariwise dialogue dan upaya perdamaian. Langkah memutus kerja sama (seperti boikot) bukanlah tujuan akhir; ia diperlukan agar keadilan ditegakkan, lalu membuka ruang bagi negosiasi yang sungguh-sungguh tanpa kekerasan. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

“Amar ma’ruf nahi mungkar” menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan, harus ditempuh dengan hikmah dan cara-cara yang membawa maslahat umat, bukan sekadar memojokkan lawan tanpa memberi peluang dialog.

Apakah Israel sedang dikucilkan? Secara sosial dan ekonomi, tekanan itu nyata, namun masih jauh dari kata mutlak. Bagi Indonesia dan komunitas Islam, tantangannya adalah memastikan tekanan tersebut membawa efek jera, bukan memperpanjang penderitaan warga sipil serta menciptakan landasan bagi negosiasi damai yang menghormati hak asasi manusia. Semoga langkah-langkah ini menumbuhkan keadilan sejati, bukan semata pemutihan luka yang berkelanjutan.

Share This Article