muslimx.id — Bupati Aceh Selatan Mirwan MS menyampaikan permohonan maaf setelah keberangkatannya ke Tanah Suci bertepatan dengan banjir besar yang melanda wilayahnya. Klarifikasi itu disampaikan melalui video singkat yang diterima media, memicu diskusi publik mengenai etika kepemimpinan saat krisis.
Dalam pernyataannya, Mirwan menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, Mendagri Tito Karnavian, dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Ia mengakui kepergiannya umrah di tengah bencana telah menimbulkan keresahan masyarakat.
Mirwan menegaskan penyesalan atas ketidaknyamanan publik, terutama ketika masyarakat membutuhkan kehadiran pemimpin daerah. Ia menyatakan kesiapannya memperbaiki pelayanan, memulihkan kepercayaan publik, serta memastikan kesalahan serupa tidak terulang.
Permintaan maaf juga ditujukan kepada warga Aceh Selatan. Mirwan berjanji mengambil langkah nyata untuk membantu pemulihan pascabencana, terutama di wilayah yang terdampak paling parah.
Reaksi Publik dan Sorotan Pemerintah
Keberangkatan Mirwan mendapat tanggapan keras dari masyarakat. Banyak yang menilai pemimpin daerah seharusnya menjadi pihak pertama yang hadir memberikan dukungan ketika bencana melanda.
Pemerintah pusat turut menyoroti peristiwa tersebut. Perdebatan mengenai etika jabatan publik pun mengemuka, terutama terkait keteladanan dan prioritas seorang pemimpin.
Sejumlah pengamat menilai bahwa kepercayaan publik kini bergantung pada langkah konkret yang diambil Mirwan dalam proses pemulihan daerah dan peningkatan tata kelola pemerintahan.
Perspektif Islam: Pemimpin Bertanggung Jawab atas Rakyatnya
Ajaran Islam memberikan penekanan besar terhadap amanah kepemimpinan. Pemimpin wajib mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, terutama saat musibah melanda.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menegaskan bahwa amanah kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tetapi tanggung jawab moral untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Rasulullah SAW memperkuat pesan itu melalui hadis:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks bencana, ketidakhadiran pemimpin dapat dinilai sebagai kelalaian amanah. Islam menekankan bahwa pemimpin harus hadir, memimpin, dan memastikan rakyat mendapatkan perlindungan.
Etika Kepemimpinan dalam Pandangan Syariat
Islam mengajarkan bahwa seorang pejabat tidak boleh menempatkan agenda pribadi di atas kebutuhan umat. Keteladanan dan akuntabilitas menjadi fondasi kepemimpinan yang diridhai Allah.
Prinsip tersebut menegaskan bahwa pemimpin merupakan penjaga kemaslahatan umum. Segala keputusan, termasuk perjalanan ibadah, harus mempertimbangkan situasi rakyat yang dinaungi.
Dalam kondisi bencana, kehadiran pemimpin adalah bagian dari ibadah sosial yang sangat ditekankan Islam karena menolong rakyat termasuk amal terbesar yang dicintai Allah.
Solusi Etis Menurut Nilai-Nilai Islam
Sejumlah prinsip dapat diterapkan untuk mendorong perbaikan tata kelola kepemimpinan:
- Penyusunan pedoman etika jabatan publik berbasis syariat, menekankan amanah dan tanggung jawab sosial.
- Penguatan mekanisme pengawasan publik, termasuk pemantauan aktivitas pejabat saat keadaan darurat.
- Digitalisasi absensi dan kehadiran pejabat, terutama dalam krisis, agar akuntabilitas terjaga.
- Pendidikan etika kepemimpinan bagi pejabat daerah, berbasis nilai amanah dan kedisiplinan.
- Pemberdayaan masyarakat untuk menilai kinerja pemimpin, sebagai bagian dari kontrol sosial yang dibenarkan Islam.
Prinsip-prinsip ini sejalan dengan tujuan syariat: menjaga jiwa, menjaga ketertiban, dan menjaga kemaslahatan umum.
Penutup: Kepemimpinan adalah Amanah, Bencana Membutuhkan Kehadiran
Keberangkatan Bupati Mirwan saat banjir menjadi pelajaran penting mengenai prioritas seorang pemimpin. Islam mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban.
Permintaan maaf merupakan langkah awal, namun rakyat membutuhkan tindakan nyata, kehadiran penuh, dan konsistensi dalam pelayanan. Musibah adalah ujian bagi masyarakat, tetapi juga ujian besar bagi pemimpin: apakah amanah dijalankan atau diabaikan.
Dengan nilai Islam sebagai pedoman, kepemimpinan harus kembali diarahkan pada tanggung jawab, keteladanan, dan keberpihakan kepada rakyat yang sedang membutuhkan.